DownloadLagu Allah Allah Aghisna MP3 Tidak Ada di Halaman Ini. bukan asal dan jumlahnya bukan ditentukan pemusiknya. Tempat karaoke juga ada nih bahkan ukuran kecil pun ada, berarti nanti harga untuk tempat rekreasi juga akan meningkat nih, biaya jalan-jalan akan menjadi lebih mahal di indonesia sehingga mp3 dan download lagu Allah Allah
Ketahuilahwahai orang-orang yang beriman, aqidah kita dibina di atas nas AlQuran dan Sunnah. Kita tidak menyatakan sesuatu berkaitan dengan aqidah kita melainkan ada nas yang menyatakan tentangnya. Oleh itu aqidah golongan ini ( Allah wujud tanpa bertempat) perlu ditolak kerana : 1. Tiada satu nas pun yang menyatakan seperti yang mereka
Takselamanya kita hidup. Dunia ini tempat berbekal untuk kembali pulang kepada Allah. Iman serta amal kita sudah mencukupikah? Seandainya waktu memanggil kita tanpa waktu yang berkompromi, semoga hati kita selalu dijaga dan dipelihara oleh Allah didalam setiap nafas yang kita hirup ini. Di balik sendu, Allah menitipkan hikmah yang bisa dipetik.
Tanpaharga (yang Dia bayar), kasih-Nya menjadi tidak berharga (di mata kita). Jika kita merenungkan secara lebih seksama, kasih Allah dalam diri kita sebenarnya memang bukan tanpa syarat. Ada syarat yang begitu berat. Walaupun demikian, syarat itu sudah dipenuhi oleh Allah sendiri. Ada harga yang tak terkira.
ShahihBukhari hadis nomor 5329 Telah menceritaka kepada kami Sa’id bin ‘Ufair dia berkata: telah menceritaka kepadaku Ibnu Wahb dari Yunus dari Ibnu Syihab dia berkata: telah mengabarkan kepadaku Salim bin Abdullah dan Hamzah bahwa Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada ‘adwa (keyakinan adanya penularan
harga motor supra x 125 karbu bekas. Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat Untuk memahami tema ini harus diketahui terlebih dahulu bahwa di dalam Al Qur’an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, Allah berfirman هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَـأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِـغَاءَ الْفِـتْنَةِ وَابْتِـغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوْا اْلأَلْبَابِ ءال عمران 7 “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab Al Qur’an kepada Muhammad. Di antara isinya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur’an yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al Qur’an dengannya dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya seperti saat tibanya kiamat melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal” QS. Al Imran 7 Ayat-ayat Muhkamat Ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan maksudnya. Seperti firman Allah لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ سورة الشورى ۱۱ “Dia Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. QS. asy-Syura 11 وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ سورة الإخلاص 4 “Dia Allah tidak ada satupun yang menyekutui-Nya”. QS. al Ikhlash 4 هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا سورة مريم 65 “Allah tidak ada serupa bagi-Nya”. QS. Maryam 65 Ayat-ayat Mutasyabihat Ayat yang belum jelas maknanya, atau ayat yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti firman Allah ﴿ الرّحْمٰنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى ﴾ سورة طه 5 ﴿ إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّـيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ﴾ سورة فاطر 10 Makna ayat kedua ini adalah bahwa dzikir seperti ucapan لا إله إلاّ الله akan naik ke tempat yang dimuliakan oleh Allah, yaitu langit. Dzikir ini juga akan mengangkat amal saleh. Pemaknaan seperti ini sesuai dan selaras dengan ayat muhkamat ﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ﴾ سورة الشورى ۱۱ . Jadi penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin diketahui oleh para ulama. Sedangkan mutasyabih hal yang tidak diketahui oleh kita yang dimaksud dalam ayat ﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾ سورة ءال عمران 7 Menurut bacaan waqaf pada lafzh al Jalalah الله adalah seperti saat kiamat tiba, waktu pasti munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih yang seperti ayat tentang istiwa’ Thaha 5. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda ” اعْمَلُوْا بِمُحْكَمِهِ وَءَامِنُوْا بِمُتَشَابِهِهِ” حديث ضعيف ضعفا خفيفا Maknanya “Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur’an dan berimanlah terhadap yang mutasyabihat dalam Al Qur’an”. Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat mutasyabihat ini melainkan percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang muhkamat. Hadits ini dla’if dengan kedla’ifan yang ringan. Seorang ahli hadits, pakar bahasa dan fiqh bermadzhab Hanafi, Murtadla az-Zabidi dalam syarh Ihya’ Ulum ad-Din yang berjudul Ithaf as-Sadah al Muttaqin mengutip perkataan Abu Nashr al Qusyairi dalam kitab at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah “Sedang firman Allah ﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾ سورة ءال عمران 7 yang dimaksud adalah waktu tepatnya kiamat tiba, sebab orang-orang musyrik bertanya kepada Nabi shallallahu alayhi wasallam tentang kiamat kapan tiba. Jadi mutasyabih dalam konteks ini mengisyaratkan pada pengetahuan tentang hal-hal yang gaib karena memang tidak ada yang mengetahui peristiwa di masa mendatang dan akhir semua hal kecuali Allah. Karenanya Allah berfirman ﴿ هَلْ يَنْظُرُوْنَ إِلاَّ تَأْوِيْلَهُ يَوْم يَـأْتِي تَأْوِيْلُهُ ﴾ الأعراف 53 maksudnya mereka tidak menunggu kecuali datangnya kiamat. Dengan demikian, bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan berdalih ayat tersebut bahwa terdapat dalam kitabullah hal yang tidak ada jalan bagi seorang makhlukpun untuk mengetahuinya serta tidak ada yang mengetahui hal ini kecuali Allah. Bukankah ini termasuk penghinaan terbesar terhadap misi-misi kenabian ?!. Bahwa Nabi tidak mengetahui takwil sifat-sifat Allah yang ada lalu mengajak orang untuk mengetahui hal yang tidak bisa diketahui ?!, bukankah Allah berfirman tentang al Qur’an ﴿ بِلِسَانٍ عَرَبِـيٍّ مُبِيْنٍ ﴾ سورة الشعراء 195 Maknanya “Dengan bahasa Arab yang jelas” asy-Syu’ara’ 195 Berarti kalau menurut logika pendapat mereka ini maka mereka mesti mengatakan bahwa Allah telah berdusta karena mengatakan ﴿ بِلِسَانٍ عَرَبِـيٍّ مُبِيْنٍ ﴾ sebab mereka ternyata tidak memahaminya. Jika tidak, lalu di mana letak kebenaran penjelasan ini ?!. Dan jika memang al Qur’an ini berbahasa Arab lalu bagaimana bisa seseorang mengatakan bahwa di dalamnya ada yang tidak diketahui oleh orang Arab padahal al Qur’an berbahasa Arab. Jika demikian halnya apa sebutan yang patut untuk pendapat yang berujung pada pendustaan terhadap Allah ini !?”. Az-Zabidi selanjutnya mengatakan masih menukil dari al Qusyairi “Bukankah ada pendapat yang mengatakan bahwa bacaan ayat tentang takwil tersebut adalah وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ , seakan Allah menyatakan “orang yang mendalam ilmunya juga mengetahui takwilnya serta beriman kepadanya” karena beriman kepada sesuatu itu hanya dapat terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan mungkin seseorang beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan “Saya termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya”. Ada dua metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama benar Pertama Metode Salaf. Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah pertama. Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara global takwil ijmali, yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi, tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah ﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ﴾ سورة الشورى ۱۱ Maknanya “Dia Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. asy-Syura 11 Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi’i –semoga Allah meridlainya- ” ءَامَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ ” “Aku beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah sesuai dengan maksud Rasulullah”, yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan sifat-sifat fisik dan benda makhluk yang tentunya mustahil bagi Allah. Selanjutnya, penafian bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci takwil tafshili seperti yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti bahwa dalam Shahih al Bukhari, kitab tafsir al Qur’an tertulis ” سُوْرَةُ الْقَصَصِ ، كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ ، إِلاَّ مُلْكَهُ وَيُقَالَ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ ” اهـ. “Surat al Qashash, كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ al Qashash 88 yakni kecuali kekuasaan dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya”. Kekuasaan Allah adalah sifat Allah yang azali tidak memiliki permulaan , tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-Nya. Dalam Shahih al Bukhari juga masih terdapat takwil semacam ini di bagian yang lain seperti dlahik yang terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus ar-Rahmah al Khashshah. Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf mentakwil firman Allah رَبُّكَ ﴿ وَجَاءَ secara tafshili terperinci, ia mengatakan yakni datang kekuasan-Nya tanda-tanda kekuasaan-Nya “. Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al Ala-i “Setelah al Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas keduanya atau mendekati kapasitas keduanya “. Komentar al Bayhaqi terhadap sanad tersebut ada dalam kitabnya Manaqib Ahmad. Sedang komentar al Hafizh Abu Sa’id al Ala-i mengenai al Bayhaqi dan ad-Daraquthni terdapat dalam bukunya al Wasyyu al Mu’lam. Al Hafizh Abu Sa’id al Ala-i sendiri menurut al Hafizh Ibnu Hajar “Dia adalah guru dari para guru kami”, beliau hidup pada abad VII Hijriyah. Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam Ahmad mentakwil secara terperinci tafshili, di antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi yang merupakan salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau banyak mengetahui nash-nash teks-teks induk dalam madzhab Hanbali dan keadaan imam Ahmad. Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang secara logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah seorang ulama yang digelari oleh al Hafizh Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari. Kedua Metode Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari tasybih menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Sebagai contoh, firman Allah yang memaki Iblis ﴿ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ﴾ سورة ص 75 Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al Inayah perhatian khusus dan al Hifzh pemeliharaan dan penjagaan. 2. Allah Ada Tanpa Tempat بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله وصلى الله على رسول الله وسلم وبعد قال الله تعالى هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَـمِيًّا سورة مريم 65 “Engkau tidaklah menemukan yang serupa dengan-Nya Allah”. QS. Maryam 65 Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah; kelompok mayoritas ummat yang merupakan al-Firqah an-Najiyah golongan yang selamat. Dalil atas keyakinan tersebut selain ayat di atas adalah firman Allah لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ سورة الشورى 11 “Dia Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. QS. as-Syura 11 Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam makhluk Allah terbagi kepada dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil para ulama menyebutnya dengan al-Jawhar al-Fard, dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian jism. Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam; 1. Benda Lathif; benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya. 2. Benda Katsif; benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya. Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta’ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al-Jawhar al-Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi panjang, lebar dan kedalaman. Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ “كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىءٌ غَيْـرُهُ” رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam bersabda “Allah ada pada azal Ada tanpa permulaan dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal keberadaan tanpa permulaan, tidak ada sesuatu selain-Nya bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru makhluk. Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Sebagaimana ditegaskan juga oleh sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- “كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ” “Allah ada pada azal dan belum ada tempat dan Dia Allah sekarang setelah menciptakan tempat tetap seperti semula, ada tanpa tempat” Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333. Al-Imam al-Bayhaqi w 458 H dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu alayhi wa sallam قالَ رَسُوْلُ الله “أنْتَ الظّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىءٌ وَأنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَىءٌ” رَوَاهُ مُسلم وَغيـرُه “Engkau Ya Allah azh-Zhahir yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin yang tidak dapat dibayangkan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu HR. Muslim dan lainnya. Jika tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat”. Al-Imam as-Sajjad Zain al-Abidin Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib w 94 H berkata “أنْتَ اللهُ الّذِيْ لاَ يَحْوِيْكَ مَكَانٌ” رواه الحافظ الزبيدي “Engkaulah ya Allah yang tidak diliputi oleh tempat”. Diriwayatkan oleh al-Hafizh az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ Ulumiddin dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al-Bayt; keturunan Rasulullah. Adapun ketika seseorang menghadapkan kedua telapak tangan ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka’bah, hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini telah dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti al-Imam al-Mutawalli w 478 H dalam kitabnya al-Ghun-yah, al-Imam al-Ghazali w 505 H dalam kitabnya Ihya Ulumiddin, al-Imam an-Nawawi w 676 H dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al-Imam Taqiyyuddin as-Subki w 756 H dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil, dan masih banyak lagi. Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -Semoga Allah meridlainya- w 321 H berkata “تَعَالَـى يَعْنِي اللهَ عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ” “Maha suci Allah dari batas-batas bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar seperti wajah, tangan dan lainnya maupun anggota badan yang kecil seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya. Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang; tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut”. Perkataan al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi ini merupakan Ijma’ konsensus para sahabat dan ulama Salaf orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah. Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasannya bukanlah maksud dari Mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu dengan-Nya. Melainkan maksud Mi’raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya keajaiban-keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al-Isra ayat 1. Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat, atau disemua tempat, atau ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari w 324 H -Semoga Allah meridlainya- berkata “إنَّ اللهَ لاَ مَكَانَ لَهُ ” رواه البيهقي في الأسماء والصفات “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma Wa ash-Shifat. Al-Imam al-Asy’ari juga berkata “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu tempat atau di semua tempat”. Perkataan al-Imam al-Asy’ari ini dinukil oleh al-Imam Ibn Furak w 406 H dalam kitab al-Mujarrad. Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya’rani w 973 H dalam kitab al-Yawaqit Wa al-Jawahir menukil perkataan Syekh Ali al-Khawwash “Tidak boleh dikatakan Allah ada di mana-mana”. Maka aqidah yang wajib diyakini adalah bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat. Perkataan al-Imam ath-Thahawi di atas juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al-Wujud; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya, juga sebagai bantahan atas pengikut paham Hulul; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menempati sebagian makhluk-Nya. Dua keyakinan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma’ konsensus seluruh orang Islam sebagaimana dikatakan oleh al-Imam as-Suyuthi w 911 H dalam kitab al-Hawi Li al-Fatawi, dan Imam lainnya. Para Imam panutan kita dari ahli tasawuf sejati seperti al-Imam al-Junaid al-Baghdadi w 297 H, al-Imam Ahmad ar-Rifa’i w 578 H, Syekh Abd al-Qadir al-Jailani w 561 H dan semua Imam tasawwuf sejati; mereka semua selalu mengingatkan orang-orang Islam dari para pendusta yang menjadikan tarekat dan tasawuf sebagai sebagai wadah untuk meraih dunia, padahal mereka berkeyakinan Wahdah al-Wujud dan Hulul. Dengan demikian keyakinan ummat Islam dari kalangan Salaf dan Khalaf telah sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Sementara keyakinan sebagian orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas Arsy, adalah keyakinan sesat. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Para ulama Salaf bersepakat bahwa barangsiapa yang menyifati Allah dengan salah satu sifat di antara sifat-sifat manusia maka ia telah kafir, sebagaimana hal ini ditulis oleh al-Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi w 321 H dalam kitab aqidahnya yang terkenal dengan nama “al-Aqidah ath-Thahwiyyah”. Beliau berkata ” وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي اْلبَشَرِ فَقَدْ كَفَر ” “Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir”. Padahal telah diketahui bahwa beribadah kepada Allah hanya sah dilakukan oleh orang yang meyakini bahwa Allah dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Al-Imam al-Ghazali berkata “لاَ تَصِحُّ اْلعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ” “Tidak sah ibadah seorang hamba kecuali setelah mengetahui Allah yang wajib disembah”. Hal itu karena beriman kepada Allah dengan benar adalah syarat diterimanya amal saleh seseorang, tanpa beriman kepada Allah dengan benar maka segala bentuk amal saleh tidak akan diterima oleh Allah. 3. Kesalahan memaknai kata “Fawq” dan “Al-Alyy” pada Hak Allah Kata “fawq” dalam makna zhahir berarti “di atas”. Dalam penggunaannya, kata fawq ini tidak hanya untuk mengungkapkan tempat dan arah atau makna indrawi, tapi juga biasa dipakai dalam penggunaan secara maknawi; yaitu untuk mengungkapkan keagungan, kekuasaan dan ketinggian derajat. Kata fawq dengan dinisbatkan kepada Allah disebutkan dalam al-Qur’an dalam beberapa ayat, itu semua wajib kita yakini bahwa makna-maknanya bukan dalam pengertian tempat dan arah, di antaranya firman Allah وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ الأنعام 18 Pengertian fawq dalam ayat ini ialah bahwa Dia Allah yang maha menundukan dan maha menguasai para hamba-Nya. Kata fawq dalam ayat ini bukan untuk mengungkapkan bahwa Allah berada di arah atas dari hamba-hamba-Nya. Al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa makna ini; yaitu makna menguasai dan menundukan serta ketinggian derajat, adalah makna yang dimaksud dari salah salah satu sifat Allah; al-Uluww. Dan inilah makna yang dimaksud dari firman Allah “Sabbihisma Rabbik al-Ala” QS. Al-A’la 1, dan firman-Nya “Wa Huwa al-Alyy al-Azhim” QS al-Baqarah 255. Karena makna al-Uluww dalam pengertian indrawi, yaitu tempat atau arah atas hanya berlaku pada makhluk saja yang notabene sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran, tentunya hal itu adalah suatu yang mustahil bagi Allah. Dalam hal ini Ibn Hajar menuliskan sebagai berikut “Sesungguhnya mensifati Allah dengan sifat al-Uluww adalah dalam pengertian maknawi, karena mustahil memaknai al-Uluww pada hak Allah dalam pengertian indrawi. Inilah pengertian sifat-sifat Allah al-Aali, al-Alyy, dan al-Muta’ali”. Pada halaman lain dalam kitab yang sama, al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan alasan mengapa para ulama sangat keras mengingkari penisbatan arah bagi Allah, adalah tidak lain karena hal itu sama saja dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Dan sesungguhnya Allah mustahil membutuhkan kepada tempat, karena Dia bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran, dan Dia tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda Fath al-Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari, j. 3, h. 30, j. 7, h. 124, dan j. 11, h. 505. Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybîh, dalam penjelasan firman Allah “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa Ibadih” QS. Al-An’am 18, menuliskan sebagai berikut “Penggunaan kata fawq biasa dipakai dalam mengungkapkan ketinggian derajat. Seperti dalam bahasa Arab bila dikatakan“Fulan Fawqa Fulan”, maka artinya si fulan yang pertama A lebih tinggi derajatnya di atas si fulan yang kedua B, bukan artinya si fulan yang pertama berada di atas pundak si fulan yang kedua. Kemudian, firman Allah dalam ayat tersebut menyebutkan “Fawqa Ibadih”, artinya, sangat jelas bahwa makna yang dimaksud bukan dalam pengertian arah. Karena bila dalam pengertian arah, maka berarti Allah itu banyak di atas hamba-hamba-Nya, karena ungkapan dalam ayat tersebut adalah “’Ibadih” dengan mempergunakan kata jamak“ Daf’u Sybah at-Tasybîh Bi Akaff at-Tanzih, h. 23. Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam Idlah ad-Dalil menuliskan sebagai berikut “Allah berfirman “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa Ibadih” QS. Al-An’am 18, dan berfirman tentang para Malaikat “Yakhafuna Rabbahum Min Fawqihim” QS. An-Nahl 50. Ketahuilah bahwa penggunaan kata fawq dalam bahasa Arab terkadang dipergunakan untuk mengungkapkan tempat yang tinggi, terkadang juga dipergunakan untuk mengungkapkan kekuasaan, juga untuk mengungkapkan derajat yang tinggi. Contoh untuk mengungkapkan kekuasaan, firman Allah “Yadullah Fawqa Aidihim” QS. Al-Fath 10, dan firman-Nya “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa Ibadih” QS. Al-An’am 18. Pemahaman fawq dalam dua ayat ini adalah untuk mengugkapkan kekuasaan. Contoh untuk mengungkapkan ketinggian derajat, firman Allah “Wa Fawqa Kulli Dzi Ilmin Alim” QS. Yusuf 76. Tidak ada seorangpun yang memahami makna fawq dalam ayat ini dalam pengertian tempat, karena sangat jelas bahwa yang dimaksud adalah ketinggian kekuasaan dan kedudukan. Telah kita jelaskan di atas bahwa adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu batil, maka dengan demikian menjadi jelas pula bagi kita bahwa pemaknaan fawq pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Karena itu dalam penggunaanya dalam ayat QS. Al-An’am 18 di atas bersamaan dengan al-Qahhar; salah satu nama Allah yang berarti maha menguasai dan maha menundukan. Kemudian dari pada itu, penggunaan kata fawq jika yang dimaksud pegertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan. Karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya, -apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri?!- Karenanya, bila dikatakan dalam bahasa Arab “al-Ghulam Fawq as-Sulthan” atau “al-Ghulam Fawq as-Sayyid”, maka tujuannya bukan untuk pujian, tetapi yang dimaksud adalah untuk menyatakan tempat dan arah. Adapun penggunaan kata fawq untuk tujuan pujian maka makna yang dituju adalah dalam pengertian menguasai, menundukan, dan ketinggian derajat. Dan pengertian inilah yang dimaksud dengan ayat “Yakhafuna Rabbahum Min Fawqihim” QS. An-Nahl 50. Karena sesungguhnya seorang itu merasa takut terhadap yang memiliki derajat dan keagungan lebih tinggi darinya” Idlah ad-Dalil Bi Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thil, h. 108-109. Inilah pengertian fawq pada hak Allah, yaitu bukan dalam pengertian tempat dan arah, tapi dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Pemaknaan inilah yang telah disepakati oleh para ulama ahli tafsir, seperti al-Imâm al-Qurthubi, dan lainnya Lihat al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 3, h. 78, j. 20, 15, j. 12, h. 91, j. 4, h. 217, j. 11, h. 223 dan di banyak halaman lainnya. Al-Imâm Ibn Jahbal dalam Risalah Fi Nafy al-Jihah An Allah menuliskan sebagai berikut “Penggunaan kata fawq dikembalikan kepada dua pengertian. Pertama; Fawq dalam pengertian tempat bagi suatu benda yang berada di atas benda lainnya. Artinya posisi benda yang pertama berada di arah kepala posisi benda yang kedua. Pemaknaan semacam ini tidak akan pernah dinyatakan bagi Allah kecuali oleh seorang yang berkeyakinan tasybîh dan tajsîm. Kedua; Fawq dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan. Contoh, bila dikatakan dalam bahasa Arab “al-Khalifah Fawq as-Sulthan Wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya “Si fulan yang pertama kedudukannya di atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan “al-Ilmu Fawq al-Amal” maka artinya “Ilmu kedudukannya di atas amal”. Contoh makna ini dalam firman Allah “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqa Ba’dlin Darajat” QS. Az-Zukhruf 32, artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain. Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan para pengikut Fir’aun “Wa Inna Fawqahum Qahirun” QS. Al-A’raf 127. Yang dimaksud ayat ini adalah bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun -merasa- menguasai dan lebih tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali bukan berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di atas punggung-punggung Bani Isra’il” Lihat dalam Risalah fi Nafy al-Jihah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 9, h. 47. Risalah ini adalah bantahan keras terhadap Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy.
Akidah umat Islam pada umumnya Allah ada tanpa tempat maupun arah sebelum maupun sesudah diciptakan Arsy Mereka “bergembira” atas wafatnya ustadz Tengku Zulkarnain Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia MUI periode 2015-2020 karena dianggap sebagai ahlul bid’ah dan termasuk firqah Jahmiyah sebagaimana “perbincangan” mereka pada Mereka “memperbincangkan” wafatnya ustadz Tengku Zulkarnain sambil bertanya apa dalilnya bahwa Allah ada tanpa tempat sebagaimana status atau tulisan mereka pada Salah satu contoh dalil bagi i’tiqod atau akidah umat Islam pada umumnya, Allah ada tanpa tempat maupun arah adalah sabda Rasulullah bahwa Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun menyertai-Nya termasuk tempat maupun arah sebelum maupun sesudah diciptakan Arsy. Rasulullah bersabda, قَالَ كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ “Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Dia, sedangkan arsy-Nya di atas air, HR. Bukhari 2953 Haditsnya bisa dibaca secara daring online pada atau matan redaksi lainnya Rasulullah bersabda قَالَ كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ قَبْلَهُ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun sebelum-Nya, sedangkan arsy-Nya berada di atas air HR. Bukhari 6868 Haditsnya bisa dibaca secara daring online pada Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata “Allah ada dan belum ada tempat dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat tetap seperti semula ada tanpa tempat” Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tidak ada sesuatupun besertaNya. Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya” Begitupula Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” QS Al Hadiid [57]3 Jadi jelaslah bahwa Allah Ta’ala ada sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya. Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya. Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ’Arsy Jadi Allah Ta’ala ada dan tidak berubah !!! , mustahil disifatkan berubah huduts Imam Syafi’i berkata إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته “Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36. Jika dikatakan bahwa Tuhan berada di atas Arsy maka berarti tidak ada Tuhan di bawah Arsy. Begitupula jika dikatakan Allah berada di atas Arsy maka berarti ada Arsy di bawah Allah. Padahal Rasulullah bersabda bahwa Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya. Di atasNya tidak ada sesuatu dan di bawahNya tidak ada sesuatu. Rasulullah bersabda, قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya. Di atasNya tidak ada sesuatu dan di bawahNya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arsy di atas air.” . قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, makna Ama` adalah Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya Sunan at Tirmidzi, 3109 Sedangkan sabda Rasulullah yang ARTINYA “Lalu Allah menciptakan Arsy di atas air.” MAKNANYA BUKANLAH Allah Ta’ala BERUBAH menjadi di atas Arsy karena Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan berubah. Rasulullah sekedar memberitakan bahwa Allah Ta’ala menciptakan Arsy di atas air. Rasulullah tidak pernah bersabda bahwa Allah Ta’ala menciptakan Arsy berada di bawahNya. Imam al-Qadli Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab berjudul Idlah ad-Dalil Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, hlm. 106-107 menuliskan ***** awal kutipan *****Kemudian kata “tsumma” dalam firman-Nya “Tsumma Istawa” bukan dalam pengertian “tertib atau berkesinambungan” dalam perbuatan-Nya, tetapi untuk memberikan paham tertib atau kesinambungan dalam pemberitaan, bukan dalam perbuatan-Nya.**** akhir kutipan *** Al-Imam al-Qurthubi menuliskan “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr 22 Begitupula ulama yang diakui sebagai mujaddid abad ke 4 hijriah, Imam al Baihaqi W 458 H dalam kitabnya al Asma wa ash Shifat, hlm. 506 menjelaskan dalil bahwa Allah ada tanpa tempat maupun arah, ***** awal kutipan ******واستدل بعض أصحابنا في نفي المكان عنه بقول النبي صلى الله عليه و سلم Dan telah berdalil sebagian sahabat kami ahlus sunnah dalam menafikan tempat bagi Allah dengan sabda Rasululullah shallallahu alaihi wasallam, أنت الظاهر فليس فوقك شىء, وأنت الباطن فليس دونك شىء Engkau Adz Dzahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu dan Engkau Al Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu. HR Muslim 4888 وإذا لم يكن فوقه شىء ولا دونه شىء لم يكن في مكان “jika tidak ada sesuatu di atas dan di bawahNya itu artinya Allah tidak ada pada tempat”.***** akhir kutipan ***** Begitupula tidak ada mufassir ahli tafsir yang MENTERJEMAHKAN Istawa ARTINYA adalah BERADA. Para mufassir ahli tafsir sepakat menterjemahkan Istawa ARTINYA adalah BERSEMAYAM karena kata BERSEMAYAM serupa dengan ISTAWA mempunyai MAKNA DZAHIR dan MAKNA MAJAZ makna kiasan. Jadi kita harus dapat membedakan antara ARTI dan MAKNA Istawa bagi Allah Ta’ala supaya tidak terjerumus KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD Contoh kata BERSEMAYAM yang tidak dapat dimaknai dengan MAKNA DZAHIR, makna duduk atau bertempat dalam sebuah petuah Bung Karno tertanggal 23 Oktober 1946 yakni berbunyi Orang tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin. Contoh BERSEMAYAM dalam MAKNA MAJAZ adalah berkuasa, contohnya, “Bapak Drs H. M. Abdullah Msc BERSEMAYAM di SINGGASANA Walikota selama dua periode” bukan bermakna dia BERTEMPAT atau DUDUK di SINGGASANA sepanjang dua periode namun MAKNANYA dia BERKUASA selama dua periode. Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata, إنَّ اللهَ خلَقالْعرشإظْهارا لقُدرتهولم يتخذْهمكَانا لذَات رواه أبو منصور البغدادي في الفرق بين الفرق/ ص ٣٣٣ “Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy makhluk Allah yang paling besar untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” , diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi W 429 H dalam kitab al Farq bayna al Firaq perbedaan di antara Aliran-aliran, hal. 333 Para penerus KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah W 728H sebelum bertaubat MENTERJEMAHKAN alal arsy istawa dalam MAKNA DZAHIR seperti ISTAQARRA yang artinya BERADA di arah atas secara hissi inderawi / materi / fisikal atau BERTEMPAT atau MENETAP TINGGI atau bahkan MELAYANG TINGGI di atas arsy karena ada juga mereka yang mengingkari menempelnya Tuhan dengan makhluk-Nya. Padahal para ulama terdahulu telah melarang mentakwil ISTAWA dengan MAKNA DZAHIR seperti ISTAQARRA karena akan terjerumus Aashin durhaka kepada Allah Ta’ala yakni seolah-olah MEMENJARAKAN Allah Ta’ala BERBATAS dengan Arsy. Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari dalam kitab Al Ibanah menegaskan bahwa istawa Allah di atas Arsy بلا كيف ولا استقرار Tanpa kaifa sifat makhluk/benda dan bukan dalam MAKNA DZAHIR yakni bukan dalam pengertian ISTIQRAR. Jadi BUKAN Allah ISTAQARRA yakni BERADA atau BERTEMPAT atau MENETAP atau bahkan MELAYANG TINGGI di atas Arsy. NAMUN Allah di atas Arsy BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA yakni tanpa sifat-sifat makhluk/benda seperti arah jihah, jarak, ruang, waktu, berbatas al hadd dengan arsy sebagaimana yang telah disampaikan pada Sedangkan Salafush Sholeh pada umumnya membiarkan khabar-khabar tersebut yakni membiarkan ayat-ayat mutasyabihat banyak makna terkait sifat Allah sebagaimana datangnya maksudnya MENGITSBATKAN MENETAPKAN berdasarkan LAFADZNYA dan menafikan makna secara bahasa artinya tidak menetapkan atau tidak memilih makna dzahir atau makna majaz dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala. Salafush Sholeh mengatakan قال الوليد بن مسلم سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي أمروها كما جاءت بلا تفسير “Dan Walid bin Muslim berkata Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir” Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan makna bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan makna bahasa Farsi makna bahasa selain Arab / bahasa asing Al-Asma’ wa As-Sifat 314. Ibnu Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh, dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H. Jadi boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti Yadullah yang artinya Tangan Allah dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala Begitupula boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti istiwa yang artinya bersemayam yang mempunyai makna dzahir dan makna majaz dan lalu TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala Para penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah W 728H sebelum bertaubat terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH AKIBAT mereka NGEYEL atau KEUKEUH bersikukuh atau MEMAKSA MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI ayat mutasyabihat banyak makna terkait sifat Allah secara hissi inderawi / materi / fisikal atau SELALU dengam MAKNA DZAHIR dan MENGINGKARI TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ Firqah MUJASSIMAH adalah mereka yang MEN-JISM-KAN Allah Ta’ala yakni mereka mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat jism atau sifat benda atau makhluk yakni sifat fisikal seperti mengisbatkan menetapkan arah atau tempat, ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya dan sifat fisikal lainnya maupun anggota badan Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar seperti tangan dan kaki dan anggota tubuh yang kecil seperti mata dan lidah atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang seperti halnya makhluk diliputi oleh arah. Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi w. 725 H dalam kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi menuliskan Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib mengatakan قوم من هذه الأمة عند إقتراب الساعة كفارا يُنكرون خالقهم فيصفونه بالجسم والأعضاء “Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir maksudnya KUFUR dalam I’TIQOD karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat JISIM sifat benda atau makhluk yakni sifat fisikal seperti arah, ukuran, jarak, batasan maupun tempat dan anggota-anggota badan.” Lihat biografi al-Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam ad-Durar al-Kaminah karya al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, j. 4, h. 198 Begitupula Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 menyampaikan pandangan para ulama terdahulu terhadap kebid’ahan Ibnu Taimiyyah W 728 H sebagaimana yang dinformasikan pada ****** awal kutipan ******فمنهم من نسبه إلى التجسيم لما ذكر في العقيدة الحموية والواسطية وغيرهما من ذلك كقوله إن اليد والقدم والساق والوجه صفات حقيقية لله، وأنه مستو على العرش بذاته، فقيل له يلزم من ذلك التحيز والانقسام. فقال أنا لا أسلم أن التحيز والانقسام من خواص الأجسام. فالذم بأنه يقول بتحيز في ذات الله. Ada sebagian kelompok yang menisbatkan pemahaman Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy DENGAN Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki BATASAN dan bagian, MAKA ia menjawab, “ Aku tidak setuju BATASAN dan bagian termasuk kekhushusan jisim sifat benda /fisikal Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan BATASAN bagi Dzat Allah.****** akhir kutipan ****** Begitupula dalam Hasyiyah al-Allaamah Ibn Hajar al-Haitami alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj telah menyampaikan bahwa Ibnu Taimiyyah itu telah MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah Ta’ala KARENA mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat benda seperti arah dan tempat maupun mensifatkan Allah Ta’ala dengan anggota-anggota badan seperti tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya. ***** awal kutipan *****Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan. Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji. –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”***** akhir kutipan ***** Dalam kitab yang sama, Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengingatkan bahwa Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan oleh banyak ulama terdahulu dalam arti ditetapkan kufur dalam i’tiqod Contohnya seperti Al Allamah Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi W 841 H. Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’. Jadi perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Ibnu Taimiyyah W 728 H karena begitu besarnya kerusakan dalam perkara i’tiqod akibat orang awam terkelabui dengan label mazhab atau manhaj Salaf Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah W 728 H MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyyah ***** awal kutipan *****ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه “Meskipun demikian, beliau Ibnu Taimiyyah adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.***** akhir kutipan **** Begitupula permasalahan ini bukanlah perkara furu’iyyah karena Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah seperti Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakan Ibnu Taimiyyah di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab, yaitu 1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm. 2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm. 3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm. 4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm. Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan “وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”. “Dia Ibnu Taimiyyah dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.” Selain qodhi empat mazhab, masih banyak ulama lainnya yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah W 728 H dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang telah disampaikan pada Contohnya Al-Imam Ibn Jahbal W 733 H dalam risalah Fi Nafy al-Jihah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 9, h. 47. memuat bantahan keras terhadap Ibn Taimiyah W 728 H yang mengatakan bahwa Allah berada atau bertempat di atas arsy. ****** awal kutipan ******… bila dikatakan dalam bahasa Arab “al-Khalifah Fawq as-Sulthan wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya “Si fulan yang pertama kedudukannya di atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan “al-Ilmu Fawq al-Amal” maka artinya “Ilmu kedudukannya di atas amal”. Contoh makna ini dalam firman Allah “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqo Ba’dlin Darajat” QS. Az-Zukhruf 32, artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain.****** akhir kutipan ****** Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata ***** awal kutipan *****Makna فوق fawqo bukanlah dalam pengertian tempat karena adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawqo pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wa huwa al-qaahiru fawqo ibaadihi Jika yang dimaksud fawqo dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya – Apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?***** akhir kutipan ****** Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an menuliskan tentang pemahaman fawq pada hak Allah, sebagai berikut “…antara lain sifat fawqiyyah, seperti dalam firman-Nya “Wa Huwa al-Qahiru Fawqo Ibadih” QS. Al-An’am 18, dan firman-Nya “Yakhafuna Rabbahum Min Fawqihim” QS. An-Nahl 50. Makna fawqo dalam ayat ini bukan dalam pengertian arah atas. Makna fawqo dalam ayat tersebut sama dengan makna fawqo dalam firman Allah yang lain tentang perkataan Fir’aun “Wa Inna Fawqohum Qahirun” QS. Al-A’raf 127, bahwa pengertiannya bukan berarti Fir’aun berada di atas pundak Bani Isra’il, tapi dalam pengertian ia menguasai Bani Isra’il”. Pembesar Mazhab Hambali, Imam Ibn al Jawzi, ketika menjelaskan kekeliruan firqah MUJASSIMAH yang menyimpulkan bahwa secara indrawi Allah berada di arah atas berdalilkan firman Allah Ta’ala, “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa Ibadihi” QS. Al-An’am 61 ***** awal kutipan ****Dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan فلان فوق فلان Fulan fawqa Fulan artinya derajat si fulan A lebih tinggi dibanding si fulan B Ungkapan ini BUKAN bermaksud bahwa si fulan A berada di atas pundak si fulan B Mereka lupa bahwa pengertian FAWQA dalam makna indrawi makna dzahir hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja. Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian, علوّ المرتبة Uluww al-Martabah artinya derajat yang tinggi******* akhir kutipan ******* Begutupula dalam bahasa Arab Fiis Sama’i arti sebenarnya HANYALAH “di langit” BUKANLAH “BERADA di ATAS langit” Imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid; ***** awal kutipan *****“Al Kirmani berkata, مَنْ فِى السَّمَاءِ makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia dibanding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Dzat dan sifat-Nya.“****** akhir kutipan ****** Begitupula pembesar mazhab Hambali, Al Imam Ibn al Jawzi yang MEMBERSIHKAN fitnah-fitnah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal dengan kitabnya yang berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih mencontohkan KEKELIRUAN firqah MUJASSIMAH dalam memahami firman Allah أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ aamintum man fiis samaa-i QS Al Mulk [67]16 ***** awal kutipan ******Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna dzahirnya karena dasar kata fis sama’ dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”, padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun. Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi seperti ini, karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit. Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.***** akhir kutipan ***** Jadi UNGKAPAN seperti “serahkan sama Yang di langit” atau “serahkan sama Yang di atas” BUKAN dalam pengertian ARAH, BATASAN, JARAK ataupun TEMPAT NAMUN maksudnya adalah, علوّ المرتبة Uluww al-Martabah artinyaderajat yang tinggi. Oleh karenanya terhadap firmanNya pada QS Al Mulk [67]16 para mufassir ahli tafsir telah sepakat menyisipkan kata “berkuasa” agar tidak dipahami dan disisipkan kata “berada” atau “bertempat” sehingga menafsirkannya menjadi, Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berkuasa di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk [67]16 ***** awal kutipan ******a-amintum, Apakah kalian merasa aman dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara tashil man fiis samaa-i, terhadap kekuasaan Allah yang di langit yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang di langit an yakhsifa, bahwa Dia akan menjungkir balikkan berkedudukan menjadi badal dari lafaz man bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru, bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang menjadi gempa dan menindih kalian****** akhir kutipan ****** Tafsir Jalalain dapat dibaca secara daring online pada FITNAH terhadap Salafush Sholeh timbul AKIBAT Ibnu Taimiyyah W 728 H MENISBATKAN atau tepatnya MELABELKAN MAZHABNYA atau metode pemahamannya selalu dengan MAKNA DZAHIR sebagai mazhab atau manhaj salaf sebagaimana fatwanya dalam Majmu Fatawa 4/149 ***** awal kutipan *****Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR***** akhir kutipan ***** Bahkan disebarluaskan dongeng atau tepatnya fitnah bahwa Imam Asy’ari melalui 3 marhalah kehidupan atau 3 fase pemikiran yakni fase ketiga / terakhir adalah SERUPA dengan MAZHABNYA Ibnu Taimiyyah W 728 yang DILABELI mazhab atau manhaj Salaf. Ibnu Taimiyyah dikabarkan masih sempat bertaubat kepada Allah Ta’ala sebelum Beliau wafat dipenjara sehingga Beliau belum sempat menulis kitab-kitab untuk mengkoreksi kekeliruannya akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyyah dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam ayat-ayat mutasyabihat banyak makna SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan mengingkari makna majaz Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115. Begitupula Ibnu Taimiyyah dalam Al Iman hal 94 berkata, ***** awal kutipan *****“maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk metafor majaz dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk metafor. Bahkan pembagian bahasa kepada hakekat dan metafor adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.***** akhir kutipan **** Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah w 751 H murid dari Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA Ath thaghut Ats Tsalits, karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang As Showa’iqul Mursalah 2/632 Jadi timbulnya KERUSAKAN seperti TERJERUMUS KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD akibat orang awam TERKELABUI dengan LABEL mazhab atau manhaj Salaf dan penisbatan atau tepatnya PELABELAN Salafi maupun Atsari Mereka membeli atau memiliki kitab-kitab hadits dan mereka membaca hadits-hadits dimana dalam hadits tercantum sanad hadits yakni nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in lalu dikatakan oleh mereka bahwa mereka mengikuti PEMAHAMAN Salafush Sholeh dan DILABELI MAZHAB SALAF atau MANHAJ SALAF Apa yang disampaikan dari hadits-hadits yang dibaca oleh mereka adalah PEMAHAMAN MEREKA sendiri BUKAN PEMAHAMAN Salafush Sholeh. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri yakni PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR. Begitupula pengertian ahlussunnah versi mereka adalah ahli membaca sunnah yakni ahli membaca hadits secara shahafi otodidak menurut akal pikiran mereka sendiri dan TAQLID mengikuti MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyyah W 728H sebelum bertaubat SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK atau MELARANG TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ. Ada seseorang bertanya kepada Albani “Apakah anda ahli hadits muhaddits?”Albani menjawab “Ya!”Ia bertanya “Tolong riwayatkan 10 hadits kepada saya beserta sanadnya!”Albani menjawab “Saya bukan ahli hadits penghafal, saya ahli hadits kitab.”Orang tadi berkata “Saya juga bisa kalau menyampaikan hadits ada kitabnya.”Lalu Albani terdiamdari Syaikh Abdullah al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6 Ahli membaca hadits, Albani mengakui bahwa Beliau adalah ahli hadits kitab bukan penghafal hadits. Dalam ilmu Musthalah Hadits jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk sayyi’ al-hifdzi maka status haditsnya adalah dlaif, bukan perawi sahih Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh ahli membaca hadits Albani yang tidak didasari dengan Dlabit’ akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadits juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan. Jadi yang dimaksud oleh mereka dengan julukan atau pengakuan sebagai “ahli hadits” adalah ahli membaca hadits secara shahafi otodidak. Sedangkan ahli hadits sesungguhnya menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya secara turun temurun sehingga tersambung kepada para perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari lisannya Rasulullah. Imam Ibnu Hajar al-Haitami mencontohkan hadits yang dapat menyesatkan bagi ahli membaca hadits adalah hadits Nuzul yakni, “Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” HR Muslim 1261 Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan bahwa, ولا يعرف معنى هذه إلا الفقهاء بخلاف من لايعرف إلا مجرد الحديث ، فإنه يضل فيه كما وقع لبعض متقدمي الحديث . بل ومتأخريهم ، كابن تيمية وأتباعه “tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fiqih. Berbeda dengan mereka yang hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Berikut kutipan contoh pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah W 728 H sebelum bertaubat ketika membaca hadits Nuzul sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” kitab karya Ibnu Taimiyyah **** awal kutipan ****Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al Arsiyyah “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas arsy adalah dalil yang muhkam dalil yang umum dan sudah jelas maknanya , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam.***** akhir kutipan ***** Ibnu Taimiyyah terjerumus MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN nuzul dengan mengatakan bahwa “Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan arsy-Nya KOSONG” Begitupula ini adalah sebuah contoh KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah dalam perkara i’tiqod karena tidak pernah disabdakan Rasulullah maupun diriwayatkan oleh Salafush Sholeh. Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah. Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat mengatakan bahwa Nabi Muhammad DIDUDUKAN oleh Allah di atas Arsy bersama-Nya Majmu Fatawa juz 4, dan contoh kajiannya dalam video pada Begitupula Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat juga berkata, – Tuhan BERTEMPAT di atas Arsy, maka keduanya ini memiliki BENTUK dan BATASAN Muwafaqat Sharih al Ma’qul h 29 – Tuhan BERTEMPAT di langit dan dia diliputi dan DIBATASI oleh langit Muwafaqat Sharih al Ma’qul h 30 sebagaimana contoh tulisan mereka yang sempat diarsip pada Contoh kabar pertaubatan Ibnu Taimiyyah pada Begitupula sifat keterpisahan bagi Allah Ta’ala dengan makhluk BUKANLAH menjauh secara hissi materi / fisikal dalam pengertian batasan, arah, jarak maupun tempat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu al-Fatawa, juz 2, Para ulama terdahulu seperti Syekh Ibnu Khaldun 808 H dalam kitab Târîkh-nya menjelaskan ***** awal kutipan ******وأمّا المعنى الآخر للمباينة، فهو المغايرة والمخالفة Adapun makna keterpisahan mubayanah bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah perbedaan dan ketidaksamaan فيقال البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويّته ووجوده وصفاته Maka dikatakan bahwa Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya dalam hal Dzat, hakikat, keberadaan dan sifat-sifatnya.***** akhir kutipan ***** Jadi pengertian keterpisahan mubayanah bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah Allah ba’in an al-khalq yakni Allah Ta’ala TERPISAH dalam makna BERBEDA dari makhluk-makhluk-Nya Contohnya kalau makhlukNya seperti manusia itu dekat BERSENTUH dan jauh BERJARAK, sedangkan Allah Ta’ala itu dekat TIDAK BERSENTUH dan jauh TIDAK BERJARAK sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat QS Al Baqarah [2] 186 Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam “Maqalatul Islamiyin” jilid I hal 281 dengan JELAS dan TEGAS menuliskan apa yang telah disepakati oleh para ahlus sunnah, أنهم يقولون إن البارىء ليس بجسم ولا محدود ولا ذي نهاية Mereka ahlus sunnah berkata, “Sesungguhnya Allah bukan jism, tidak berhadd TIDAK TERBATAS dan TIDAK BERJARAK” Begitupula Imam Abul Wahid At Tamimi W 410 H ulama yang paling dekat zamannya dengan Imam Ahmad membawakan riwayat Imam Ahmad di dalam kitab Beliau “I’tiqad Imam Al Munabbal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal hal 38; والله تعالى لم يلحقه تغير ولا تبدل ولا يلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش “Dan Allah Ta’ala tidak mengalami perubahan dan TIDAK TERBATAS oleh hadd, baik sebelum Allah menciptakan Arsy, maupun setelah Allah menciptakan Arsy”. Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata من زعمأن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود ”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud TERBATAS maka ia telah JAHIL yakni TIDAK MENGENAL Tuhan Sang Pencipta.” Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73 Jadi orang-orang yang MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN ISTAWA Allah sebagai ISTAQARRA yang artinya BERADA atau BERTEMPAT atau MENETAP TINGGI atau bahkan MELAYANG TINGGI di atas Arsy sehingga mereka terjerumus Aashin durhaka kepada Allah yakni mereka seolah-olah MEMENJARAKAN Allah Ta’ala BERBATAS dengan Arsy adalah mereka yang JAHIL yakni BELUM MENGENAL Allah makrifatullah dengan sebenar keagungan-Nya. Oleh karenanya perkara aqidah sebaiknya didahulukan karena tidak sah ibadah jika belum mengenal Allah makrifatullah Hujjatul Islam Imam Al Ghazali berkata لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود “Tidak sah ibadah seorang hamba kecuali setelah mengetahui mengenal Allah yang wajib disembah”. “Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah” artinya, awal beragama adalah mengenal Allah makrifatullah dan tujuan akhir beragama adalah menyaksikan Allah makrifatullah dengan hati ain bashirah Oleh karenanya SEJAK DINI sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin lima puluh aqidah dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai SARANA untuk MENGENAL Allah yang merupakan hasil istiqro telaah para ulama yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits sebagaimana yang telah disampaikan pada Begitupula 20 sifat wajib bagi Allah dipergunakan sebagai pedoman dan batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat banyak makna tentang sifat-sifat Allah. Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa orang-orang yang KELIRU dalam berijtihad dan beristinbat karena MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR akan berakibat dua macam KEKUFURAN yakni, 1. KEKUFURAN dalam PERKARA FIQIH yakni mereka yang melarang mengharamkan yang tidak dilarang diharamkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah atau SEBALIKNYA mereka mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah sebagaimana yang telah disampaikan pada 2. KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD atau AKIDAH seperti para PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah W 728H yang menjadi rujukan bagi paham Wahabi WAHABISME yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab W 1206H sebagaimana yang telah disampaikan pada KEKUFURAN dalam perkara I’TIQOD bukan kafir dalam arti membatalkan keislaman namun terkait dengan tingkat keimanan. Syekh Nawawi al Bantani W 1314 H dalam kitab Kasyifah as-Saja Fi Syarhi Safinah an-Naja menjelaskan ada lima tingkatan iman. Pertama, iman taqlid yaitu mantap dan percaya dengan ucapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Orang yang memiliki tingkatan keimanan ini dianggap sah keimanannya. Tetapi berdosa karena meninggalkan upaya mencari dalil apabila orang tersebut mampu untuk menemukannya. Kedua, iman ilmi yaitu mengetahui akidah-akidah beserta dalil-dalilnya. Tingkatan keimanan ini disebut ilmu yaqin. Menurut Syekh Nawawi Al Bantani, orang yang memiliki keimanan tingkat pertama dan kedua termasuk orang yang masih terhalang jauh dari Allah Ta’ala. Ketiga, iman irfan yaitu mengetahui Allah dengan pengawasan hati. Oleh karena itu Allah tidak hilang dari hati sekedip mata pun karena rasa takut kepada-Nya selalu ada di hati. Sehingga seolah-olah orang yang memiliki tingkatan keimanan ini melihat Allah di maqom muroqobah atau derajat pengawasan hati. Tingkat keimanan ini disebut dengan ainul yaqin. Keempat, iman haq yaitu melihat Allah dengan hati. Tingkatan keimanan ini seperti yang disampaikan para ulama, yakni orang yang makrifat. Tingkat keimanan ini berada di maqom musyahadah dan disebut dengan haq al-yaqiin. Orang yang memiliki tingkatan keimanan ini adalah orang yang terhalang jauh dari selain Allah. Kelima, iman hakikat yaitu sirna bersama Allah dan mabuk karena cinta kepada-Nya. Oleh karena itu, orang yang memiliki tingkatan keimanan ini hanya melihat Allah seperti orang yang tenggelam di dalam lautan dan tidak melihat adanya tepi pantai sama sekali. Syaikh Ibnu Athaillah berkata dalam Al Hikam bahwa “Tuhanmu tidak terhijab. Yang terhijab adalah pandanganmu sehingga engkau tidak dapat memandang-Nya. Kalau Dia terhijab berarti Dia tertutupi oleh sesuatu. Jika Dia tertutup sesuatu, berarti wujud-Nya terbatas. Segala yang terbatas adalah lemah, sedang Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Manusia terhalang atau menghijabi dirinya sehingga tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya adalah karena dosa mereka. Rasulullah bersabda, “Seandainya bukan karena setan menyelimuti jiwa anak cucu Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” HR Ahmad Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang terhijab dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati. Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan barangsiapa yang buta hatinya di dunia ini, niscaya di akhirat nanti ia akan lebih buta pula dan lebih tersesat dari jalan yang benar.” QS Al Isra 17 72 “maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” al Hajj 22 46 Jadi tidak semua manusia dapat memandang Allah dengan hatinya Orang kafir itu tidak dapat memandang Allah Ta’ala dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya hidayah oleh KEGELAPAN sesat. Ahli maksiat tidak dapat memandang Allah Ta’ala dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya taqwa oleh KEGELAPAN alpa Ahli Ibadahpun boleh terjadi tidak dapat memandang Allah dengan hatinya karena TERHIJAB atau tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh KEGELAPAN memandang ibadahnya. Begitupula orang-orang yang mengatakan atau berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala BERBATAS dengan Arsy AKIBAT MENTAKWIL ISTAWA dengan ISTAQARRA yang artinya BERTEMPAT atau MENETAP TINGGI di atas Arsy atau BERADA di arah atas secara hissi inderawi / materi / fisikal menurut Hujjatul Islam Imam Al Ghazali dalam Misykat Al Anwar ADALAH orang-orang yang belum dapat memandang Allah Ta’ala dengan hatinya ain bashirah AKIBAT mereka TERHIJAB oleh cahaya yang bercampur dengan KEGELAPAN KHAYALI ***** awal kutipan *****Sebab, kata mereka sesuatu yang tidak dinisbahkan ke suatu arah dan tidak dapat dilukiskan sebagai “di luar alam dunia” atau “di dalamnya”, menurut mereka, sama saja dengan “tidak ada” karena tidak dapat dikhayalkan. Orang-orang seperti ini tidak mengetahui bahwa persyaratan dasar sesuatu yang ma’qûl dapat dicerna oleh akal ialah kemungkinannya untuk melampaui segenap arah dan ruang.***** akhir kutipan ***** Mereka memang ada juga yang berkeyakinan bahwa Tuhan tidak bertempat NAMUN berada di arah atas karena menurut mereka tempat itu masih alam sedangkan Tuhan itu di luar alam. Berikut kutipan tulisan mereka, ****** awal kutipan ******Tidak betul, sudah dijelaskan para ulama salaf bahwa memang zat Allah itu di arah atas, tapi mereka memang tidak menamakan itu semua tempat karena Allah itu di luar alam sehingga tak berlaku lagi tempat di luar alam karena tempat itu masih alam.***** akhir kutipan ****** Jadi mereka berkeyakinan Tuhan berada di arah atas dan di atas Arsy ada yang namanya “bukan tempat”. Adapula yang lain menamakannya makan adami dan kalau diartikan adalah “tempat ketiadaan” Ironisnya keyakinan i’tiqod/akidah mereka tentang adanya “bukan tempat” atau “tempat ketiadaan” makan adami dinisbatkan atau dilabeli sebagai keyakinan ulama salaf Padahal istilah “bukan tempat” atau makan adami tempat ketiadaan tidak pernah diriwayatkan oleh Salafush Sholeh karena tidak ada dalam Al Qur’an maupun Hadits. Imam Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi asy-Syaf’i W 465 H atau yang dikenal dengan Imam Al Qusyairi dalam Lata’if al-Isyarat mengingatkan bahwa, Langit maupun arsy dalam makna dzahir atau secara hissi materi/fisikal arah atas jihah adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk Sedangkan langit, arsy dalam makna majaz atau secara maknawi adalah terkait melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendakiNya untuk dapat melihat Allah dengan hatinya ain bashirah. Rasulullah melihat Allah dengan hatinya ain bashirah. قَالَ رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَلْبِهِ Ibnu Abbas radhiyallhuanhu berkata; Muhammad melihat Rabb-nya Azza wa Jalla dengan hatinya HR Muslim 257 atau Syarh Shahih Muslim 176, HR Tirmidzi 3203 Malaikat Jibril ketika menampakkan sebagai seseorang berpakaian putih bertanya, Wahai Rasulullah, apakah IHSAN itu? Beliau menjawab, Kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya makrifatullah, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” HR Muslim 11 Jadi jika seseorang bermakrifat yakni dapat melihat Allah dengan hatinya ain bashirah atau pengawasan Allah tertanam di hatinya karena BERKEYAKINAN bahwa “Allah Ta’ala itu dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” maka setiap akan bersikap atau berbuat sesuatu ia selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar. Sikap dan perilaku seperti itulah yang membentuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang IHSAN. Langkah-langkah agar berahlak baik adalah untuk membersihkan jiwa tazkiyatun nafs yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela TAKHALLI kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji TAHALLI sampai titik hitam dosa pada hati menghilang berganti bintik cahaya, sehingga tidak ada yang menghijabi antara diri dengan Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla dekat dan dapat disaksikan dipandang dengan hati sehingga tercapailah muslim yang ihsan muhsin/muhsinin/sholihin maka diperolehlah kenyataan Tuhan TAJALLI. Tajalliyat adalah tersingkapnya hijab yang membatasi manusia dengan Allah, sehingga nyata dan terang cahaya dan kebesaran Allah dalam jiwa. Dengan mudah jiwa akan menerima nur ilahi berupa hidayah dan ma’unah dari Allah untuk senantiasa bersikap terpuji dan berakhlak mulia dalam hidup sehari-hari. Para ulama Allah mengatakan bahwa salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya ain bashiroh Oleh karenanya orang-orang yang BERAKHLAK BURUK seperti mereka yang terjerumus KESOMBONGAN dan MENOLAK kebenaran BERKAITAN dengan akhlak buruk mereka kepada Allah Ta’ala yakni orang-orang yang Aashin DURHAKA kepada Allah karena mereka “menjauhkan” Allah Ta’ala dengan menetapkan arah jihah atau tempat bagi Allah di atas Arsy AKIBAT mereka belum dapat memandang Allah dengan hatinya ain bashirah. Jadi mereka yang “menjauhkan” Allah adalah orang-orang yang BERTAMBAH ILMUNYA namun SEMAKIN JAUH dari Allah Ta’ala karena mereka TERJERUMUS KESOMBONGAN dan MENOLAK KEBENARAN Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“ Rasulullah bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” HR. Muslim Syekh Ihsan Jampes W 1952 M dalam kitabnya Siraj al-Talibin syarh atas kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali W 1111 M menjelaskan bahwa melihat Allah tidak hanya kelak di akhirat saja namun para kekasih Allah wali Allah juga dapat melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia. Hal ini disebut karamah keistemewaan para Wali Allah. Karamah para Wali Allah melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hati mereka ain bashirah di dunia dapat dialami oleh mereka dalam kondisi terjaga maupun tidak. Jadi melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hati mereka ain bashirah di dunia tidak dapat dialami oleh semua orang. Hanya orang-orang pilihan yang dikehendakiNya yang dapat melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia. Syekh Ihsan Jampes menjelaskan bahwa pengertian wahdah al wujud atau wahdatul wujud bukanlah bersatunya wujud Tuhan dan manusia namun para wali Allah yang berhadapan dan menyaksikan Allah dengan hati mereka menyampaikan bahwa mereka tidak menyaksikan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala itu wujud. Para ulama Allah menyebutnya maqom Musyahadah artinya ruang kesaksian. Inilah keadaan bukan sekedar mengucapkan syahadat namun sebenar-benarnya menyaksikan bahwa, “tiada tuhan selain Allah” atau dengan kata lain “Selain Allah Ta’ala itu tiada” . Syekh Ihsan Jampes menjelaskan bahwa wujud Allah Subhanahu wa Ta’ala bersifat dzati bukan disebabkan sesuatu dan tanpa kecacatan. Sedangkan wujud kita merupakan atas fi’il Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala ada, dan tidak diwujudkan oleh atau suatu sebab. Sedangkan makhluk yang ada karena disebabkan sesuatu. Seperti manusia yang ada karena dilahirkan oleh seorang ibu. Inilah yang kemudian disebut wujud yang tidak bersifat dzati. Begitupula Al-Hakim al-Tirmidzi 205-320 H/ 820-935 M ketika menjelaskan tentang maqamat al-walayah derajat kedekatan para kekasih Allah atau Wali Allah menyampaikan bahwa para wali Allah yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun, al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun telah sempurna tingkat kewalian mereka. Hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi di hadapan-Nya. Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah. Seorang wali yang mencapai puncak kewalian tertinggi ini berada pada maqam munfaridin atau posisi malak al-fardaniyah, yaitu merasakan kemanunggalan dengan Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menggunakan istilah liyufrida agar manunggal / merasakan kemanunggalan dan tidak menggunakan istilah ittihad seperti Abu Yazid al-Busthami atau hulul seperti al-Hallaj, atau wahdatul wujud seperti yang “dinisbatkan” kepada Ibn Arabi dalam menjelaskan persatuan seorang wali dengan Allah atau ketiadaan ke-fana-an sesorang wali Allah dihadapan Allah Ta’ala. Sedangkan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di dalam kitab sir al-asrar menyampaikan bahwa orang yang sampai pada tahapan mendapatkan kesadaran dan cinta sepenuhnya dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala tindak tanduknya bersesuaian dengan kehendakNya. Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah berkata “jika Aku sudah MENCINTAINYA, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. HR Bukhari 6021 Syekh Abdul Qadir Jailani menjelaskan lebih lanjut bahwa setelah orang yang mendapatkan kesadaran dan cinta sepenuhnya dari Allah Ta’ala, mereka fana’ di dalam kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah. Terlepas diri dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya. Jika sudah demikian, maka ke-fana’-an manusia akan abadi baqa’ bersama Tuhannya dan keridhaan-Nya. Syekh Abdul Qadir Jailani berhati-hati untuk mengungkapkanya agar tidak disalah pahami menjelaskan bahwa keabadian manusia bersama Tuhannya adalah disebabkan amal kebaikannya atau amal salehnya, sebagaimana yang disinggung oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فِلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَكْرُ أُوْلَئِكَ هُوَ يَبُورُ سورة فاطر ١٠ Artinya “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” QS. Fathir10 Jadi dengan amal kebaikanlah para kekasih Allah wali Allah memperjalankan diri mereka hingga sampai wushul kepada Allah Ta’ala yakni bertemu, berhadapan dan menyaksikan Allah dengan hati mereka. Wassalam Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Download kitab aqidah ini ada 111 halaman, dalam bhs indonesia, penerbit syahamah press dgn kata pengantar ulama2 sunni Allah Tanpa Tempat dan Arah Allah ta’ala berfirman “Dia Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. as-Syura 11 Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam makhluk Allah terbagi atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil para ulama menyebutnya dengan al Jawhar al Fard, dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian jisim. Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam; 1. Benda Lathif sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya. 2. Benda Katsif sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya. Adapun sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta’ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi panjang, lebar dan kedalaman. Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut. Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda “Allah ada pada azal keberadaan tanpa permulaan dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud. Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal keberadaan tanpa permulaan, tidak ada sesuatu selain-Nya bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru makhluk. Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata “Allah ta’ala ada pada azal keberadaan tanpa permulaan dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu”. Al Imam Fakhruddin ibn Asakir W. 620 H dalam risalah aqidahnya mengatakan “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”. Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Al Imam al Bayhaqi W. 458 H dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu alayhi wa sallam Maknanya “Engkau azh-Zhahir yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya, tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin yang tidak dapat dibayangkan tidak ada sesuatu di bawah-Mu” Muslim dan lainnya. Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”. Hadits Jariyah Sedangkan salah satu riwayat hadits Jariyah yang zhahirnya member persangkaan bahwa Allah ada di langit, maka hadits tersebut tidak boleh diambil secara zhahirnya, tetapi harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, jadi maknanya adalah Dzat yang sangat tinggi derajat-Nya sebagaimana dikatakan oleh ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, di antaranya adalah al Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Sementara riwayat hadits Jariyah yang maknanya shahih adalah Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya salah seorang sahabat Anshar datang kepada Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam dengan membawa seorang hamba sahaya berkulit hitam, dan berkata “Wahai Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai kewajiban memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini mukminah maka aku akan memerdekakannya, kemudian Rasulullah berkata kepadanya Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah? Ia budak menjawab “Ya”, Rasulullah berkata kepadanya Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rasul utusan Allah? Ia menjawab “Ya”, kemudian Rasulullah berkata Apakah engkau beriman terhadap hari kebangkitan setelah kematian? ia menjawab “Ya”, kemudian Rasulullah berkata Merdekakanlah dia”. Al Hafizh al Haytsami W. 807 H dalam kitabnya Majma’ az-Zawa-id Juz I, hal. 23 mengatakan “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih”. Riwayat inilah yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar ajaran Islam, karena di antara dasar-dasar Islam bahwa orang yang hendak masuk Islam maka ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan yang lain. Tidak Boleh dikatakan Allah ada di atas Arsy atau ada di mana-mana Senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari di atas perkataan sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- Maknanya “Allah ada pada azal dan belum ada tempat dan Dia Allah sekarang setelah menciptakan tempat tetap seperti semula, ada tanpa tempat” Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333. Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani W. 973 H dalam kitabnya al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana”. Aqidah yang mesti diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat. Al Imam Ali -semoga Allah meridlainya- mengatakan yang maknanya “Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy makhluk Allah yang paling besar untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333 Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- juga mengatakan yang maknanya “Sesungguhnya yang menciptakan ayna tempat tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana pertanyaan tentang tempat, dan yang menciptakan kayfa sifat-sifat makhluk tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana” diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98. A llah Maha suci dari Hadd Maknanya Menurut ulama tauhid yang dimaksud al mahdud sesuatu yang berukuran adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al hadd batasan menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela mempunyai ukuran demikian juga Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran. Al Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- berkata yang maknanya “Barang siapa beranggapan berkeyakinan bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah belum beriman kepada-Nya” diriwayatkan oleh Abu Nu’aym W. 430 H dalam Hilyah al Auliya’, juz I hal. 72. Maksud perkataan sayyidina Ali tersebut adalah sesungguhnya berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang kecil atau berkeyakinan bahwa Dia memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan merupakan kekufuran. Semua bentuk baik Lathif maupun Katsif, kecil ataupun besar memiliki tempat dan arah serta ukuran. Sedangkan Allah bukanlah benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mengatakan “Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak mempunyai ukuran, besar maupun kecil”. Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah pastilah benda. Juga tidak boleh dikatakan tentang Allah bahwa tidak ada yang mengetahui tempat-Nya kecuali Dia. Adapun tentang benda Katsif bahwa ia mempunyai tempat, hal ini jelas sekali. Dan mengenai benda lathif bahwa ia mempunyai tempat, penjelasannya adalah bahwa ruang kosong yang diisi oleh benda lathif, itu adalah tempatnya. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda. Al Imam As-Sajjad Zayn al Abidin Ali ibn al Husain ibn Ali ibn Abi Thalib 38 H-94 H berkata “Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat”, dan dia berkata “Engkaulah Allah yang Maha suci dari hadd benda, bentuk, dan ukuran”, beliau juga berkata “Maha suci Engkau yang tidak bisa diraba maupun disentuh” yakni bahwa Allah tidak menyentuh sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak disentuh oleh sesuatupun dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda. Allah Maha suci dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan tidak berlaku jarak antara Allah dan makhluk-Nya karena Allah bukan benda dan Allah ada tanpa arah. Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al Bayt; keturunan Rasulullah. Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang berkeyakinan Wahdatul Wujud dan Hulul. Bantahan Ahlussunnah terhadap Keyakinan Tasybih; bahwa Allah bertempat, duduk atau bersemayam di atas Arsy. Al Imam Abu Hanifah -semoga Allah meridlainya- berkata “Barangsiapa yang mengatakan saya tidak tahu apakah Allah berada di langit ataukah berada di bumi maka dia telah kafir”. diriwayatkan oleh al Maturidi dan lainnya. Al Imam Syekh al Izz ibn Abd as-Salam asy-Syafi’i dalam kitabnya “Hall ar-Rumuz” menjelaskan maksud Imam Abu Hanifah, beliau mengatakan “Karena perkataan ini memberikan persangkaan bahwa Allah bertempat, dan barang siapa yang menyangka bahwa Allah bertempat maka ia adalah musyabbih orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya”. Demikian juga dijelaskan maksud Imam Abu Hanifah ini oleh al Bayadli al Hanafi dalam Isyarat al Maram. Al Imam al Hafizh Ibn al Jawzi W. 597 H mengatakan dalam kitabnya Daf’u Syubah at-Tasybih Maknanya “Sesungguhnya orang yang mensifati Allah dengan tempat dan arah maka ia adalah Musyabbih orang yang menyerupakan Allah dengan Makhluk-Nya dan Mujassim orang yang meyakini bahwa Allah adalah jisim benda yang tidak mengetahui sifat Allah”. Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani W. 852 H dalam Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari mengatakan “Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka yang mensifati Allah dengan tempat padahal Allah maha suci dari tempat”. Di dalam kitab al Fatawa al Hindiyyah, cetakan Dar Shadir, jilid II, h. 259 tertulis sebagai berikut “Adalah kafir orang yang menetapkan tempat bagi Allah ta’ala “. Juga dalam kitab Kifayah al Akhyar karya al Imam Taqiyyuddin al Hushni W. 829 H, Jilid II, h. 202, Cetakan Dar al Fikr, tertulis sebagai berikut “… hanya saja an-Nawawi menyatakan dalam bab Shifat ash-Shalat dari kitab Syarh al Muhadzdzab bahwa Mujassimah adalah kafir, Saya al Hushni berkata “Inilah kebenaran yang tidak dibenarkan selainnya, karena tajsim menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah jisim –benda- jelas menyalahi al Qur’an. Semoga Allah memerangi golongan Mujassimah dan Mu’aththilah golongan yang menafikan sifat-sifat Allah, alangkah beraninya mereka menentang Allah yang berfirman tentang Dzat-Nya asy-Syura 11 Maknanya “Dia Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia disifati dengan sifat pendengaran dan penglihatan yang tidak menyerupai pendengaran dan penglihatan makhluk-Nya”. Ayat ini jelas membantah kedua golongan tersebut”. Imam Abu Hanifah Mensucikan Allah dari Arah Al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya- dalam kitabnya al Washiyyah berkata yang maknanya “Bahwa penduduk surga melihat Allah ta’ala adalah perkara yang haqq pasti terjadi tanpa Allah disifati dengan sifat-sifat benda, tanpa menyerupai makhluk-Nya dan tanpa Allah berada di suatu arah” Ini adalah penegasan al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya- bahwa beliau menafikan arah dari Allah ta’ala dan ini menjelaskan kepada kita bahwa ulama salaf mensucikan Allah dari tempat dan arah. Imam Malik Mensucikan Allah dari sifat Duduk, Bersemayam atau semacamnya Al Imam Malik –semoga Allah meridlainya– berkata “Ar-Rahman ala al Arsy istawa sebagaimana Allah mensifati Dzat hakekat-Nya dan tidak boleh dikatakan bagaimana, dan kayfa sifat-sifat makhluk adalah mustahil bagi-Nya” Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma’ Wa ash-Shifat. Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah maha suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam, berada di suatu tempat dan arah dan sebagainya. Sedangkan riwayat yang mengatakan wa al Kayf Majhul adalah tidak benar dan Al Imam Malik tidak pernah mengatakannya. Dzat Allah Tidak Bisa Dibayangkan Al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah meridlainya– berkata “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya Allah hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, kafir. Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan yang mengaturnya maka dia adalah mu’aththil -atheis- orang yang meniadakan Allah. Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid orang yang mentauhidkan Allah; muslim”. Diriwayatkan oleh al Bayhaqi danlainnya Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Tsauban ibn Ibrahim Dzu an-Nun al Mishri, salah seorang murid terkemuka al Imam Malik -semoga Allah meridlai keduanya- berkata “Apapun yang terlintas dalam benakmu tentang Allah maka Allah tidak menyerupai itu sesuatu yang terlintas dalam benak” Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi dan al Khathib al Baghdadi Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda Syekh Ibn Hajar al Haytami W. 974 H dalam al Minhaj al-Qawim h. 64, mengatakan “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah -semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut kekufuran”. Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan “Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi W. 794 H, seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’I dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal. Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”. As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- 227-321 H berkata “Maha suci Allah dari batas-batas bentuk kecil maupunbesar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar seperti wajah, tangan dan lainnya maupun anggota badan yang kecil seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya. Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”. Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ konsensus para sahabat dan Salaf orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah. Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasanya bukanlah maksud dari mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam naik ke atas untuk bertemu dengan-Nya, melainkan maksud mi’raj adalah memuliakan Rasulullah shalalllahu alayhi wasallam dan memperlihatkan kepadanya keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al Isra ayat 1. Juga tidak boleh berkeyakinan bahwa Allah mendekat kepada Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam sehingga jarak antara keduanya dua hasta atau lebih dekat, melainkan yang kepada Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam di saat mi’rajadalah Jibril alayhissalam, sebagaimana diriwayatkan oleh al Imam al Bukhari W. 256 H dan lainnya dari as-Sayyidah Aisyah -semoga Allah meridlainya-, maka wajib dijauhi kitab Mi’raj Ibnu Abbas dan Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas karena keduanya adalah kebohongan belaka yang dinisbatkan kepadanya. Sedangkan ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka’bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti al Imam al Mutawalli W. 478 H dalam kitabnya al Ghun-yah, al Imam al Ghazali W. 505 H dalam kitabnya Ihya Ulum ad-Din, al Imam an-Nawawi W. 676 H dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al Imam Taqiyy ad-Din as-Subki W. 756 H dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil dan masih banyak lagi. Perkataan al Imam at-Thahawi tersebut juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al Wujud yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya atau pengikut paham Hulul yang berkeyakinan bahwa Allah menempati makhluk-Nya. Dan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma’ konsensus kaum muslimin sebagaimana dikatakan oleh al Imam as-Suyuthi W. 911 H dalam karyanya al Hawi li al Fatawi dan lainnya, juga para panutan kita ahli tasawwuf sejati seperti al Imam al Junaid al Baghdadi W. 297 H, al Imam Ahmad ar-Rifa’i W. 578 H, Syekh Abdul Qadir al Jilani W. 561 H dan semua Imam tasawwuf sejati, mereka selalu memperingatkan masyarakat akan orang-orang yang berdusta sebagai pengikut tarekat tasawwuf dan meyakini aqidah Wahdah al Wujud dan Hulul. Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan “Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir”. Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, mempunyai jarak, menempel, berpisah, berubah, berada pada satu tempat dan arah, berbicara dengan huruf, suara dan bahasa dan sebagainya. Maka orang yang mengatakan bahwa bahasa Arab atau bahasa-bahasa selain bahasa Arab adalah bahasa Allah atau mengatakan bahwa kalam Allah yang azali tidak mempunyai permulaan dengan huruf, suara atau semacamnya, dia telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dan barang siapa yang menyifati Allah dengan salah satu dari sifat-sifat manusia seperti yang tersebut di atas atau semacamnya ia telah terjerumus dalam kekufuran. Begitu juga orang yang meyakini Hulul dan Wahdah al Wujud telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Aqidah Imam Abul Hasan al Asy’ari Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari W. 324 H –semoga Allah meridlainya- berkata “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma wa ash-Shifat.1 Beliau juga mengatakan 1 Ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kitab al Ibanah yang dicetak dan tersebar sekarang dan dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy’ari telah banyak dimasuki sisipan-sisipan palsu dan penuh kebohongan, maka hendaklah dijauhi kitab tersebut. “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ta’ala di satu tempat atau di semua tempat”. Perkataan al Imam al Asy’ari ini dinukil oleh al Imam Ibnu Furak W. 406 H dalam karyanya al Mujarrad. Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat Al Imam Ahmad ar-Rifa’i W. 578 H dalam al Burhan al Muayyad berkata “Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran”. Mutasyabihat artinya nash-nash al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam yang dalam bahasa arab mempunyai lebih dari satu arti dan tidak boleh diambil secara zhahirnya, karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, akan tetapi wajib dikembalikan maknanya sebagaimana perintah Allah dalam al Qur’an pada ayat-ayat yang Muhkamat, yakni ayat-ayat yang mempunyai satu makna dalam bahasa Arab, yaitu makna bahwa Allah tidak menyerupai segala sesuatu dari makhluk-Nya. Ayat Istiwa’ Di antara ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak boleh diambil secara zhahirnya adalah firman Allah ta’ala surat Thaha 5 Ayat ini tidak boleh ditafsirkan bawa Allah duduk jalasa atau bersemayam atau berada di atas Arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah duduk tidak seperti duduk kita atau bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita, karena duduk dan bersemayam termasuk sifat khusus benda sebagaimana yang dikatakan oleh al Hafizh al Bayhaqi W. 458 H, al Imam al Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki W. 756 H dan al Hafizh Ibnu Hajar W. 852 H dan lainnya. Kemudian kata istawa sendiri dalam bahasa Arab memiliki 15 makna. Karena itu kata istawa tersebut harus ditafsirkan dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras dengan ayat-ayat Muhkamat. Berdasarkan ini, maka tidak boleh menerjemahkan kata istawa ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa lainnya karena kata istawa mempunyai 15 makna dan tidak mempunyai padan kata sinonim yang mewakili 15 makna tersebut. Yang diperbolehkan adalah menerjemahkan maknanya, makna kata istawa dalam ayat tersebut adalah qahara menundukkan atau menguasai. Dengan ini diketahui bahwa tidak boleh berpegangan kepada “al Qur’an dan Terjemahnya” yang dicetak oleh Saudi Arabia karena di dalamnya banyak terdapat penafsiran dan terjemahan yang menyalahi aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti ketika mereka menerjemahkan istawa dengan bersemayam, padahal Allah maha suci dari duduk, bersemayam dan semua sifat makhluk. Mereka juga menafsirkan Kursi dalam surat al Baqarah255 dengan tempat letak telapak kaki-Nya, padahal Allah maha suci dari anggota badan, kecil maupun besar, seperti ditegaskan oleh al Imam ath-Thahawi dalam al Aqidah ath-Thahawiyyah. Al Imam Ali –semoga Allah meridlainya- mengatakan “Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya”. Maka ayat tersebut di atas surat Thaha 5 boleh ditafsirkan dengan qahara menundukkan dan menguasai yakni Allah menguasai Arsy sebagaimana Dia menguasai semua makhluk-Nya. Karena al Qahr adalah merupakan sifat pujian bagi Allah. Dan Allah menamakan dzat-Nya al Qahir dan al Qahhar dan kaum muslimin menamakan anak-anak mereka Abdul Qahir dan Abdul Qahhar. Tidak seorangpun dari umat Islam yang menamakan anaknya Abd al jalis al jalis adalah nama bagi yang duduk. Karena duduk adalah sifat yang sama-sama dimiliki oleh manusia, jin, hewan dan malaikat. Penafsiran di atas tidak berarti bahwa Allah sebelum itu tidak menguasai arsy kemudian menguasainya, karena al Qahr adalah sifat Allah yang azali tidak mempunyai permulaan sedangkan arsy adalah merupakan makhluk yang baru yang mempunyai permulaan. Dalam ayat ini, Allah menyebut arsy secara khusus karena ia adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya. Riwayat yang Sahih dari Imam Malik tentang Ayat Istiwa’ Al Imam Malik ditanya mengenai ayat tersebut di atas, kemudian beliau menjawab Maknanya “Dan tidak boleh dikatakan bagaimana dan al kayf /bagaimana sifat-sifat benda mustahil bagi Allah”. diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah maha suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam dan sebagainya. Sedangkan riwayat yang mengatakan wal Kayf Majhul adalah tidak benar. Penegasan Imam Syafi’i tentang Orang yang Berkeyakinan Allah duduk di atas Arsy Ibn al Mu’allim al Qurasyi W. 725 H menyebutkan dalam karyanya Najm al Muhtadi menukil perkataan al Imam al Qadli Najm ad-Din dalam kitabnya Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih bahwa ia menukil dari al Qadli Husayn W. 462 H bahwa al Imam asy-Syafi’I menyatakan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah duduk di atas arsy dan tidak boleh shalat makmum di belakangnya. Ulama Ahlussunnah yang Mentakwil Istiwa’ Kalangan yang mentakwil istawa dengan qahara adalah para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah. Di antaranya adalah al Imam Abdullah ibn Yahya ibn al Mubarak W. 237 H dalam kitabnya Gharib al Qur’an wa Tafsiruhu, al Imam Abu Manshur al Maturidi al Hanafi W. 333 H dalam kitabnya Ta’wilat Ahlussunnah Wal Jama’ah, az-Zajjaj, seorang pakar bahasa Arab W. 340 H dalam kitabnya Isytiqaq Asma Allah, al Ghazali asy-Syafi’i W. 505 H dalam al Ihya, al Hafizh Ibn al Jawzi al Hanbali W. 597 H dalam kitabnya Daf’u Syubah at-Tasybih, al Imam Abu Amr ibn al Hajib al Maliki W. 646 H dalam al Amaali an-Nahwiyyah, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Termasi al Indonesi asy-Syafi’i W. 1285-1338 H dalam Mawhibah dzi al Fadll, Syekh Muhammad Nawawi al Jawi al Indonesi asy-Syafi’i W. 1314 H-1897 dalam kitabnya at-Tafsir al Munir dan masih banyak lagi yang lainnya. Inkonsistensi Orang yang Memahami Ayat Istiwa’ secara Zhahirnya Dan orang yang mengambil ayat mutasyabihat ini secara zhahirnya, apakah yang akan ia katakan tentang ayat 115 surat al Baqarah Jika orang itu mengambil zhahir ayat ini berarti maknanya “ke arah manapun kalian menghadap, di belahan bumi manapun, niscayaAllah ada di sana”. Dengan ini berarti keyakinannya saling bertentangan. Akan tetapi makna ayat di atas bahwa seorang musafir yang sedang melakukan shalat sunnah di atas hewan tunggangan, ke arah manapun hewan tunggangan itu menghadap selama arah tersebut adalah arah tujuannya maka – فثم وجه الله – di sanalah kiblat Allah sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid W. 102 H murid Ibn Abbas. Takwil Mujahid ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam al Asma’ Wa ash-Shifat. Ibnu katsir membungkam wahhaby 2 Tafsir ayat “istiwa” Ibnu katsir membungkam wahhaby 2 Tafsir ayat “istiwa” Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimahyang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya.Atau akan terjerumus dalam ta’thil yang menolak sifat-sifat Allah SWT .Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat . Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT. Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini. Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits. Perhatian 1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh ulama kholaf saja. 2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulusalaf dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating dari para salaf.. 3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ars ,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di ta’ tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesarseperti bola dan semua mkhluk yang lain di mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan adamitempat yang tidak ada.Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’idtakwil salah mereka yang jauh dari kebenaran. Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala a’lam bishshowab A. Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar lihat dalam tafsir berikut 1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295 Tarjamahannya lihat bagian yang di line merah {kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna membuka/menjelaskannya lafadz istiwa dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz istawa tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif memerincikan bagaimananya dan tanpa tasybih penyerupaan dgn makhluq dan tanpa ta’thilmenafikan dan memaknai lafadz istiwa dengan makna dhahir yang difahami menjerumuskan kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari sifat Allah yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…” Wahai mujasimmah wahhaby!! lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah! bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!! Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi ““Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih penyerupaan orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih jelas/ayat muhkamat dan berita-berita hadits yang shahih dengan pengertian sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.” Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu penjelasan ibnu katsir – Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif ayat muhkamat atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata! – ibnu katsir mengakui ayat istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut. – disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya tidak melarang ta’wil. “…dan selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan lafadznya seperti apa yang telah datang maksudnya tanpa memperincikan maknanyatanpa takyif bagaimana, gambaran, tanpa tasybih penyerupaan, dan tanpa ta’thil menafikan….” sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil! 2. Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d 1- Tafsir al Qurtubi ثم استوى على العرش dengan makna penjagaan dan penguasaan 2- Tafsir al-Jalalain ثم استوى على العرش istiwa yang layak bagi Nya 3- Tafsir an-Nasafi Maknanya makna ثم استوى على العرش adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain… 4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2 ثم استوى على العرش telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang tanpa memrincikan maknanya tanpa kaifiatbentuk dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya. II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya 1-masak boleh di makan contoh قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya makanan telah masak—buah epal telah masak 2- التمام sempurna, lengkap 3- الاعتدال lurus 4- جلس duduk / bersemayam, contoh – استوى الطالب على الكرسي pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير raja bersemayam di atas katil 5- استولى menguasai, contoh قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق Maknanya Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah. Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir? sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi wafat 321 hijrah ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر Maknanya barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته Maknanya Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya. Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus. III. Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda *Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah 673-748H . Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” Nama kitab Al-Kabair. Pengarang Al-Hafiz Az-Zahabi. Cetakan Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi “Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah …sekiranya seseorang itu menyatakan Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142. Syekh Ibn Hajar al Haytami W. 974 H dalam al Minhaj al Qawim h. 64, mengatakan “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut kekufuran”. Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan “Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi W. 794 H, seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal. Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”. As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- 227-321 H berkata “Maha suci Allah dari batas-batas bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar seperti wajah, tangan dan lainnya maupun anggota badan yang kecil seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya. Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”. Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ konsensus para sahabat dan Salaf orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah. III. ulamak 4 mazhab tentang aqidah 1- Imam Abu hanifah لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه Maknanya Allah tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1. IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY. Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas “ Berkata Imam Abu Hanifah Dan kami ulama Islam mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat. Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayamduduk Allah di atas Arasy. Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam. 2-Imam Syafie انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير Maknanya sesungguhnya Dia Ta’ala ada dari azali dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23 3-Imam Ahmad bin Hanbal -استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر Maknanya Dia Allah istawa sepertimana Dia khabarkan di dalam al Quran, bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad. وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه Maknanya dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini Ahmad bin Hanbal bahawa dia ada mengatakan tentang Allah berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnyaImam Ahmad Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami 4- Imam Malik الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة Maknannya Kalimah istiwa’ tidak majhul diketahui dalam al quran dan kaifbentuk tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah. lihat disini imam malik hanya menulis kata istiwa لاستواء bukan memberikan makna dhahir jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat istiqrar….. Bersambung …. Filed under Aqidah shohih Allah ada tanpa tempat dan arah
allah ada tanpa tempat