Yesaya11:1-9. 1Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan. tumbuh dari pangkalnya akan berbuah. 2Roh TUHAN akan ada. padanya, roh hikmat dan pengertian, roh nasihat dan keperkasaan, roh pengenalan dan takut akan TUHAN; 3ya, kesenangannya. ialah takut akan TUHAN. Ia tidak akan menghakimi dengan.
Yohanes6 dan kita mulai membaca dari ayat yang ke 35 “Yesus berkata kepada mereka, ‘Akulah roti hidup itu. barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku ia tidak akan haus lagi. Tetapi Aku telah berkata kepadamu bahwa kamu telah melihat Aku Tetapi kamu tidak percaya.
Penginjilanadalah sebuah landasan bagi iman Kristiani yang sangat berguna untuk membangun hubungan dengan orang-orang dan berbagi semangat dengan cara yang bijaksana dan menyenangkan. Anda dapat belajar cara mudah untuk melakukan kegiatan penginjilan ini dengan membaca beberapa tips sederhana, dimulai dari Langkah Pertama di bawah ini.
SakramenPerkawinan menurut Kitab Suci. Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27). Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman ‘penolong’ yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat bersatu
BagiBapak / Ibu yang membutuhkan Ringkasan Khotbah Ibadah Raya I s/d V, 2PM Service, Kebaktian Tengah Minggu, Women Of Integrity maupun Doa Fajar via Whatsapp atau Email
harga motor supra x 125 karbu bekas. 1. Anathapindika Menjadi Siswa Buddha Anathapindika adalah penyokong utama Buddha. Anathapindika berasal dari kata ’pinda” yang berarti penderma, dan “anatha” yang berarti kepada yang tidak mampu. Anathapindika merupakan panggilan kehormatan Sudatta, seorang perumah tangga dari Savatthi. Pertemuan pertama Anathapindika dan Buddha terjadi setelah vassa ketiga sejak Buddha mencapai Pencerahan Sempurna. Pada awalnya, Buddha belum menetapkan peraturan apa pun mengenai tempat berdiam bagi para bhikkhu. Para bhikkhu tinggal di mana pun, antara lain di bawah pohon, di bawah bebatuan yang menonjol, di jurang, di gua, di kuburan, dan di ruang terbuka. Ketika Anathapindika melihat cara hidup para bhikkhu, dengan izin dari Buddha, Anathapindika mendirikan 60 buah tempat tinggal bagi para bhikkhu. Tempat itu digunakan untuk penyebaran Dharma dan sebagi pusat pelatihan bagi Sangha. Buddha membimbing Anathapindika dengan menjelaskan Empat Kebenaran Mulia. Dengan itu, mata kebenaran yang tanpa noda, bersih dari debu dhammacakkhu terbuka bagi Anathapindika “Apa pun yang memiliki sifat alami timbul, semua juga memiliki sifat alami tenggelam.“ Akhirnya, Anathapindika memahami kebenaran Dharma, mengatasi semua keraguan, dan tanpa goyah; mantap dalam pikiran, ia sekarang mandiri dalam Ajaran Sang Guru. Ia telah merealisasi jalan dan buah pemasuk-arus sotapatti. Sumber Gambar Anathapindika membeli taman milik Pangeran Jeta dengan menutupi luas tanah menggunakan koin emas. Ayo, Mengamati! Tahukah kamu, peristiwa apakah yang terjadi seperti pada Gambar Ayo, Mengamati! Amati Gambar Tahukah kamu, siapakah Anathapindika itu? Bagaimana ia bertemu dengan Buddha? Bagaimana peran dia terhadap agama Buddha? Sumber Anathapindika meminta izin kepada Buddha untuk membangun sebuah vihara. Akhirnya ditemukan lokasi perbukitan yang mengelilingi kota. Tempat itu adalah Hutan Jeta, milik Pangeran Jeta, putra Raja Pasenadi. Anathapindika membeli taman itu seharga delapan belas juta koin emas dengan cara menutupi tanah yang dibeli. Vihara Jetavana yang dipersembahkan oleh Anathapindika adalah sebuah tempat tinggal yang dipuji oleh Buddha sebagai hadiah utama untuk Sangha. Anathapindika menghabiskan biaya sebesar lima puluh empat juta koin emas untuk membangun Vihara Jetavana yang dipersembahkan untuk Sangha. Oleh karena itu, Buddha menyatakan bahwa Anathapindika sebagai penyokong utama Sangha. Setelah membangun Vihara Jetavana, Anathapindika terus tekun menyokong Sangha. Ia menyediakan segala keperluan Sangha. Setiap pagi ia mengirim nasi susu, dan setiap malam ia menyediakan semua keperluan jubah, mangkuk pindapata, dan obat-obatan. Semua perbaikan dan perawatan di Jetavana dilakukan oleh pelayannya. Beberapa ratus bhikkhu datang setiap hari ke rumahnya yang merupakan bangunan bertingkat tujuh, untuk menerima santap siang. Setiap hari saat santap siang, rumahnya penuh dengan jubah kuning dan suasana suci. Para perumah-tangga yang penuh pengabdian di kota, seperti Anathapindika dan Visakha, menyambut para bhikkhu dan menganggap mereka sebagai teman spiritual yang hidup demi kesejahteraan dan manfaat semua makhluk. Buddha mengucapkan sebuah syair kepada raja untuk diingat Sebuah masakan mungkin tawar atau lezat, Makanan mungkin sedikit atau banyak, Namun, bila diberikan oleh tangan yang bersahabat, Maka menjadi santapan yang nikmat. Jataka. 346 Sumber Gambar Anathapindika mengundang Buddha dan para bhikkhu ke rumahnya. Ayo, Mengamati! Tahukah kamu siapa Anathapindika? Apa perannya dalam mendukung Buddha? Teladan apa yang dapat kamu terapkan dalam kehidupan sehari-hari? Ketika mendengar khotbah dari Buddha, ia langsung mencapai tingkat kesucian kedua, yakni Sakadagami. Ia tidak menikah. Ketika melihat kebahagiaan kedua kakaknya, ia menjadi sedih dan kesepian sehingga membuat ia menjadi makin kurus, tidak mau makan apa pun. Akhirnya, Sumana meninggal karena kelaparan dan terlahir kembali di surga Tusita. Ayo, kumpulkan data tentang anggota keluarga Anathapindika, lalu tuliskan ke dalam kolom-kolom sebagai berikut! 3. Anathapindika Wafat Wafatnya Anathapindika dijelaskan dalam Anathapindikovada Sutta, Nasihat kepada Anathapindika MN 143. Anathapindika jatuh sakit untuk ketiga kalinya dengan rasa sakit yang amat memburuk. Sekali lagi ia memohon bantuan Ananda dan Sariputta. Ketika Sariputta melihatnya, ia tahu bahwa Anathapindika sudah mendekati ajalnya dan memberi uraian Dharma. Ketika mendengarkan khotbah dari Sariputta, air mata bercucuran dari mata Anathapindika. Ananda mendekatinya dengan kasih-sayang dan bertanya apakah ia sedang sedih. Namun Anathapindika menjawab “Aku tidak bersedih, wahai Ananda yang mulia. Aku telah lama melayani Buddha dan para bhikkhu yang sempurna dalam pencapaian spiritual, namun belum pernah kudengar khotbah yang begitu mendalam.” Anathapindika Punnalakkhana Subhada Besar P Subhada Kecil P Sumana P Kala L Ayo, Mengeksplorasi 2. Silsilah Keluarga Anathapindika Anathapindika menikah dengan Punnalakkhana. Punnalakkhana berarti “seorang dengan tanda kebajikan”. Anathapindika memiliki empat orang anak, tiga putri dan seorang putra. Dua putrinya, Subhadda Besar dan Subhadda Kecil. Mereka mendalami ajaran Buddha seperti ayahnya dan mencapai kesucian Sotapanna. Namun, putrinya yang termuda, Sumana, bahkan melampaui semua orang di rumah dengan kebijaksanaannya yang mendalam. Setelah menasihati Anathapindika dengan cara demikian, Sariputta dan Ananda pergi. Tak lama kemudian, Anathapindika meninggal dan terlahir di surga Tusita. Putri termudanya telah meninggal terlebih dahulu. Namun, karena begitu besar pengabdiannya kepada Buddha dan Sangha, ia muncul di Vihara Jetavana sebagai dewa muda, yang memenuhi seluruh daerah itu dengan cahaya surgawi. Saat itu juga, Ananda berkata “Bhante, dewa muda itu pastilah Anathapindika. Karena Anathapindika si perumah tangga memiliki kepercayaan penuh terhadap Sariputta.” Buddha membenarkan Ananda bahwa dewa muda itu dulunya memang Anathapindika” SN 220; MN 143. Tugasku Setelah kamu memperlajari kisah teladan Anathapindika, temukan nilai-nilai luhur darinya yang dapat kamu teladani dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari! 1. Buatlah rangkuman kisah kehidupan Anathapindika! 2. Bacakan di depan kelas! 3. Simpan ke dalam dokumen portotofolio yang kamu miliki! Portofolio Tugas 1. Mengapa Anathapindika merupakan salah satu penyokong Buddha? 2. Bagaimana peran Anathapindika dalam menyokong Buddha? 3. Jelaskan tentang keluarga Anathapindika! 4. Anathapindika jatuh sakit untuk ketiga kalinya. Mengapa ia memohon bantuan Ananda dan Sariputta? 5. Bagaimana proses pencapaian kesucian Anathapindika? Ayo, Uji Kompetensi
DHAMMA-SARI Disusun oleh Maha Pandita Sumedha Widyadharma Penerbit Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda Cetakan Kesembilan, 1994 BAB III EMPAT KESUNYATAAN MULIA Kesunyataan Mulia Pertama Dukkha Yang menjadi pokok ajaran Sang Buddha terletak pada Empat Kesunyataan Mulia ini yang Beliau babarkan dalam khotbah-Nya yang pertama kepada lima orang pertapa bekas teman seperjuangan-Nya di Isipatana sekarang Sarnath dekat Benares. Dalam khotbah ini yang dapat kita ketahui dari teks aslinya, Empat Kesunyataan Mulia ini dikhotbahkan tidak secara panjang lebar. Tetapi di bagian-bagian lain yang tidak terhitung jumlahnya, ajaran ini dibabarkan dan diterangkan berulang-ulang dengan lebih terperinci dan dengan berbagai macam cara. Kalau kita mempelajari Empat Kesunyataan Mulia dari keterangan dan perincian tersebut di atas, kita akan mendapat gambaran yang baik dan tepat tentang ajaran yang penting ini sesuai dengan teksnya yang asli. Empat Kesunyataan Mulia terdiri dari D u k k h a, dukkha D u k k h a S a m u d a y a, sumber dukkha D u k k h a N i r o d h a, terhentinya dukkha M a g g a, jalan yang menuju ke terhentinya dukkha. KESUNYATAAN MULIA PERTAMA D U K K H A Kesunyataan Mulia Pertama Dukkha Ariyasacca pada umumnya oleh hampir semua sarjana diterjemahkan sebagai “Kesunyataan Mulia Pertama tentang penderitaan” dan ini menurut anggapan mereka harus diartikan bahwa menurut paham Buddhis, penghidupan ini tidak lain daripada penderitaan dan kesakitan. Terjemahan dan arti yang diberikan itu kedua-duanya ternyata tidak memuaskan dan dapat menimbulkan kesalahpahaman. Dengan adanya terjemahan yang singkat dan bebas ini, banyak orang mendapat gambaran salah bahwa agama Buddha adalah pesimistis. Di sini dengan tegas dinyatakan bahwa agama Buddha bukan pesimistis dan juga bukan optimistis, tetapi yang benar adalah bahwa agama Buddha adalah agama yang realistis. Yaitu yang mengajar kita untuk melihat hidup dan kehidupan di dunia ini dengan cara realistis. Agama Buddha melihat benda-benda dan segala sesuatunya dengan obyektif jathabhutang dan tidak menggambarkan secara keliru dan bodoh bahwa “penghidupan ini sorga” dan juga tidak ingin menakut-nakutkan umatnya dengan berbagai macam hukuman dan dosa yang tidak masuk akal. Agama Buddha memberitahukan kepada Anda secara wajar dan tanpa tedeng aling-aling tentang siapa sebenarnya Anda dan apakah yang ada di sekeliling Anda dan juga menunjukkan jalan untuk mencapai kebebasan sempurna, ketenangan, keseimbangan dan kebahagiaan. Seorang dokter mungkin secara berlebih-lebihan menilai bahwa seorang-pasien terlalu parah sakitnya dan tidak mungkin dapat disembuhkan. Dokter yang lain lagi secara tidak bertanggung jawab menyatakan bahwa orang sakit itu sama sekali tidak sakit apa-apa dan karena itu tidak memerlukan obat; sehingga orang sakit itu mendapat hiburan yang tidak pada tempatnya. Kita dapat menamakan dokter yang pertama sebagai pesimistis dan dokter yang kedua optimistis, namun kedua-duanya sebenarnya sama-sama berbahaya. Tetapi dokter yang ketiga dengan terang dapat melihat gejala-gejala orang sakit itu, mengetahui juga sebab dari penyakitnya, melihat dengan jelas bahwa orang sakit itu dapat disembuhkan dan dengan bertanggung jawab memberi pengobatan sehingga jiwa orang sakit itu dapat ditolong. Nah, Sang Buddha dapat diumpamakan sebagai dokter yang ketiga ini. Beliau adalah dokter yang pandai dan bijaksana yang dapat menyembuhkan penyakit manusia di dunia ini Bhisaka atau Bhaisajya-Guru. Tidak dapat disangkal bahwa kata Pali “dukkha” dalam percakapan sehari-hari berarti “derita”, “sakit”, “sedih” atau “masygul” sebagai lawan dari kata “sukha” yang berarti “bahagia”, “senang” atau “gembira”. Tetapi kata “dukkha” yang dipakai, dalam Kesunyataan Mulia Pertama, yang merupakan pandangan Sang Buddha tentang kehidupan dalam bentuk apa pun juga, mempunyai arti filosofis yang lebih dalam dan mencakup bidang yang sangat luas. Kata “dukkha” dalam Kesunyataan Mulia Pertama selain berarti “derita” biasa juga, mempunyai arti yang lebih dalam lagi, seperti “tidak sempurna”, “tidak kekal”, “kosong”, “tanpa inti”, dll. Dari itu, sulit sekali untuk menemukan satu kata yang dapat mencakup seluruh arti istilah “dukkha” dalam Kesunyataan Mulia Pertama. Karena itu, dianggap lebih bijaksana untuk tidak menterjemahkannya daripada memberikan terjemahan yang salah dan tidak sempurna seperti “derita” dan “sakit”. Sang Buddha belum pernah tidak mengakui adanya kebahagiaan dalam kehidupan. Sebaliknya Beliau mengakui tentang berbagai bentuk kebahagiaan, materiil maupun spiritual, bagi orang biasa dan juga bagi para bhikkhu. Dalam kitab Angutara-Nikaya, salah satu kitab yang berisi koleksi asli dalam bahasa Pali dari khotbah-khotbah Sang Buddha, dapat ditemukan satu daftar dari kebahagiaan sukhani, misalnya kebahagiaan kehidupan berkeluarga dan kebahagiaan seorang pertapa, kebahagiaan getaran-getaran hawa nafsu dan kebahagiaan dari orang yang menyingkir dari kehidupan duniawi, kebahagiaan terikat kepada sesuatu dan kebahagiaan karena terbebas dari ikatan-ikatan, kebahagiaan badaniah dan kebahagiaan mental, dan lain-lain. Namun, semua kebahagiaan yang disebut di atas juga termasuk dalam dukkha. Bahkan, harus diketahui bahwa keadaan “jhana” yang dapat dicapai dengan melaksanakan samadhi, sehingga orang dapat membebaskan dirinya dari penderitaan dalam arti umum dan berada dalam kebahagiaan yang murni atau keadaan “jhana” yang terbebas dari perasaan “sukha” dan “dukkha” sehingga merupakan keseimbangan dan kesadaran belaka juga termasuk dalam pengertian “dukkha”. Dalam salah satu sutta dari Majjhima-Nikaya, setelah memuji tinggi kebahagiaan batin yang diperoleh dari “jhana”, Sang Buddha kemudian bersabda bahwa kebahagiaan itu akan berubah dan tidak kekal dan karenanya harus digolongkan dalam “dukkha” anicca dukkha viparinama-dhamma. Dari contoh-contoh di atas dapat diketahui dengan jelas, bahwa “dukkha” bukan hanya disebabkan oleh penderitaan dalam arti umum, tetapi segala sesuatu yang tidak kekal pun adalah “dukkha” Yad aniccang tang dukkhang. Sang Buddha adalah Orang yang realis dan objektif. Dalam hubungan dengan penghidupan dan kebahagiaan dari hawa-hawa nafsu, Beliau minta agar kita mengerti dengan baik tiga hal perasaan tertarik atau kegembiraan assada akibat yang tidak baik, atau bahayanya, atau perasaan tidak puas adinava perasaan tidak terikat atau terbebas nissarana. Kalau Anda melihat seorang yang baik budinya, manis bahasanya dan bagus orangnya, Anda akan merasa suka, tertarik dan merasa gembira kalau sering-sering dapat bertemu dengan orang itu. Anda memperoleh kesenangan dan kepuasan bertemu, dengan orang tersebut. Inilah yang dinamakan kegembiraan assada. Hal ini dapat kita alami sendiri. Tetapi kegembiraan ini tidak kekal sebagaimana juga halnya dengan orang itu; dan segala sesuatu yang membuatnya tertarik juga tidak kekal. Kalau Anda karena sesuatu sebab misalnya tidak dapat bertemu dengan orang itu sehingga, tidak mendapat peluang untuk menjadi senang dan gembira, Anda akan menjadi kecewa sekali dan mungkin Anda dapat melakukan perbuatan yang tidak pantas. Inilah yang dinamakan “tidak baik”, “berbahaya” dan “tidak memuaskan” adinava. Hal inipun dapat kita alami sendiri dalam penghidupan kita sehari-hari. Kemudian kalau Anda tidak mempunyai ikatan apa-apa dengan orang itu dan juga tidak merasa tertarik, maka hal inilah yang dinamakan “tidak terikat” dan “terbebas” nissaana. Ketiga hal yang tersebut di atas merupakan kenyataan hidup yang ada hubungannya dengan kegembiraan dalam kehidupan. Dengan contoh-contoh yang diberikan di atas, mungkin sekarang Anda mendapat gambaran yang agak jelas bahwa persoalannya bukanlah pesimistis atau optimistis, tetapi kita harus mengetahui dengan jelas segala sesuatu yang berhubungan dengan kegembiraan dalam kehidupan, hal-hal yang dapat menyakiti hati dan yang membuat kita sedih, dan hal-hal yang membebaskan kita dari kesedihan dan penderitaan itu. Dengan demikian barulah kita dapat memahami hidup ini secara menyeluruh dan obyektif. Selanjutnya, barulah dapat dicapai pembebasan diri yang benar. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda sbb. “O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana belum dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidakpuasan karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka tidaklah mungkin mereka dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan yang timbul dari hawa nafsu. Dengan demikian mereka tidak dapat mengajar orang lain dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuk mereka tidak akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu. Tetapi, O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidakpuasan oleh karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka mereka akan dapat mengerti secara menyeluruh keinginan yang timbul dari hawa nafsu dan mereka akan dapat mengajar orang lain untuk dapat memahaminya; dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuknya akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu.” Konsep dukkha dapat ditinjau dari tiga segi dukkha sebagai derita biasa dukkha-dukkha dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan viparinama-dukkha dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi sankhara-dukkha. Semua jenis penderitaan dalam penghidupan seperti dilahirkan, berusia tua, mati; bekerjasama dengan orang yang tidak disukai atau harus berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan; dipisahkan dari orang yang dicintai atau keadaan yang disenangi; tidak memperoleh sesuatu yang didambakan; kesedihan, keluh-kesah, kegagalan dan semua bentuk derita fisik dan mental yang oleh umum dianggap sebagai derita dan sakit dapat digolongkan dalam “dukkha sebagai derita biasa” dukkha-dukkha. Suatu perasaan bahagia, suatu keadaan bahagia dalam kehidupan adalah tidak kekal. Cepat atau lambat hal ini akan berubah dan perubahan ini akan menimbulkan kesedihan, derita dan ketidakbahagiaan. Semua ini dapat digolongkan dalam “dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan” viparinama-dukkha. Mudah sekali untuk dapat mengerti akan kedua segi dukkha yang disebut di atas. Tidak seorangpun yang dapat menyangkalnya. Kedua segi ini memang merupakan gambaran umum tentang penghidupan kita sehari-hari. Tetapi, segi ketiga dari dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi merupakan segi yang paling penting dari Kesunyataan Mulia Pertama ini dan memerlukan pembahasan secara analitis tentang apa yang kita anggap sebagai “makhluk”, sebagai “orang” atau sebagai “aku” itu. Menurut paham Buddhis, apa yang kita anggap sebagai makhluk, orang atau “aku” hanya merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang terdiri atas Lima Kelompok Kegemaran pancakkhanda. Sang Buddha pernah bersabda sbb. “Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Lima Kelompok Kegemaran ini adalah dukkha”. Pada kesempatan lain Beliau dengan tegas menyatakan bahwa dukkha ialah Lima Kelompok Kegemaran. “O bhikkhu, apakah dukkha itu? Harus diketahui bahwa Lima Kelompok Kegemaran itu adalah dukkha.” Kita harus mengerti dengan jelas bahwa dukkha dan Lima Kelompok Kegemaran bukanlah dua hal yang berbeda; Lima Kelompok Kegemaran itu sendiri adalah dukkha. Kita akan dapat mengerti lebih baik persoalan ini apabila kita sudah menelaah lebih lanjut Lima Kelompok Kegemaran tersebut yang merupakan unsur-unsur dari apa yang kita namakan “makhluk”. Sekarang marilah kita menelaah Lima Khandha tersebut. LIMA KHANDA Khandha pertama ialah “kegemaran kepada bentuk” rupakkhandha. Dalam kelompok ini termasuk empat Mahabhuta, yaitu empat unsur yang terdiri dari benda padat, cair, panas dan gerak. Juga termasuk dalam kelompok ini benda-benda dan hal-hal yang dapat kita hubungkan dengan empat Mahabhuta itu seperti lima indria kita mata, hidung, telinga, lidah dan badan dengan obyek-sasarannya seperti bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang dapat disentuh, dan juga pikiran, gagasan dan konsepsi yang berada dalam alam obyek pikiran dhammayatana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk secara keseluruhan, baik yang berada di dalam badan kita maupun obyek sasarannya, tercakup dalam Rupakkhanda ini. Khandha kedua ialah “kegemaran kepada perasaan” vedanakkhanda. Dalam kelompok ini termasuk semua perasaan perasaan bahagia, perasaan tidak bahagia dan perasaan netral yang timbul karena adanya kontak dari indria kita dengan dunia luar. Ada enam jenis perasaan perasaan yang timbul dari kontak melalui mata dengan bentuk-bentuk yang terlihat; telinga dengan suara, hidung dengan bebauan; lidah dengan benda-benda yang melalui mulut; badan dengan sentuhan-sentuhan; dan pikiran dengan obyek pikiran, gagasan dan konsepsi. Semua perasaan fisik dan mental termasuk dalam kelompok ini. Ada baiknya untuk membahas secara singkat apa sebetulnya yang dimaksud dengan istilah “pikiran” manas dalam filsafat Buddhis. Kita harus mengerti dengan baik bahwa yang dimaksud dengan manas bukanlah “jiwa” sebagai lawan dari “badan jasmani”. Manas sebenarnya juga sebuah indria sebagaimana halnya dengan mata atau telinga. Manas atau pikiran dapat dikontrol dan dikembangkan seperti indria yang lain dan Sang Buddha sering berbicara mengenai faedah mengontrol dan mengembangkan keenam indria ini. Perbedaan antara indria mata dan indria pikiran ialah bahwa mata berhubungan dengan warna dan benda yang tampak, sedangkan pikiran berhubungan dengan alam pikiran, gagasan serta obyek mental. Kita mengetahui berbagai hal di dunia ini melalui berbagai indria yang kita miliki. Misalnya, kita tidak dapat mendengar warna, tetapi kita melihat warna; sebaliknya, kita tidak dapat melihat suara, tetapi kita mendengar suara. Dengan lima indria fisik kita hanya dapat mengetahui bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang dapat disentuh. Tetapi, kesemuanya ini baru merupakan sebagian dari isi dunia ini. Sebab, bagaimana dengan gagasan-gagasan dan pikiran? Mereka pun merupakan bagian dari dunia ini. Tetapi kita tidak dapat mengetahui mereka dengan perantaraan indria mata, telinga, hidung, lidah dan badan jasmani. Namun, mereka dapat kita ketahui melalui indria keenam yaitu indria pikiran. Tetapi, harus pula disadari bahwa pikiran dan gagasan-gagasan tidaklah berdiri sendiri terlepas dari pengalaman-pengalaman lima indria fisik lainnya. Pada hakekatnya mereka tergantung kepada dan timbul oleh pengalaman fisik. Seorang yang dilahirkan buta tidak mempunyai ide gambaran tentang warna, kecuali melalui perbandingan dari suara atau hal-hal lain yang ia pernah alami dengan indrianya yang lain. Dengan demikian, jelas bahwa hal-hal lain yang merupakan bagian dari dunia ini, dihasilkan dan disebabkan oleh pengalaman-pengalaman fisik yang telah dicerap oleh pikiran kita. Oleh karena itu, pikiran manas dapat dianggap sama seperti indria-indria lain, misalnya mata atau telinga. Khanda ketiga ialah “kegemaran kepada pencerapan” saññakkhandha. Sebagaimana halnya dengan perasaan, pencerapan ini pun terdiri dari enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek sasaran masing-masing. Seperti juga perasaan, pencerapan tercipta oleh karena enam indria kita mengadakan kontak dengan dunia luar. Pencerapan inilah yang mengenali obyek, baik yang merupakan obyek fisik maupun obyek mental. Khandha keempat ialah “kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran” sankharakkhandha. Dalam kelompok ini termasuk semua kegiatan “kehendak” kita, yang baik maupun yang buruk. Yang dikenal oleh masyarakat umum sebagai “kamma” termasuk dalam kelompok ini. Kita harus selalu ingat akan definisi tentang kamma yang diberikan oleh Sang Buddha sendiri “O bhikkhu, kehendak cetana itulah yang Aku namakan kamma. Sesudah berkehendak orang kemudian berbuat dengan badan jasmani, ucapan atau pikiran”. Kehendak cetana adalah satu bentuk mental, kegiatan mental. Tugasnya ialah untuk mengarahkan pikiran kita ke perbuatan baik, perbuatan buruk atau perbuatan netral. Sebagaimana halnya perasaan dan pencerapan, kehendak ini pun terdiri atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek-sasaran masing-masing, baik benda-benda fisik maupun mental. Perasaan dan pencerapan bukan merupakan perbuatan kehendak. Mereka tak akan menimbulkan buah-kamma. Hanya kegiatan kehendak yang dapat menimbulkan buah-kamma, misalnya Manasikara – perhatian Chanda – keinginan untuk berbuat Adhimokkha – ketetapan hati Saddha – keyakinan Samadhi – samadhi Pañña – kebijaksanaan Viriya – semangat, tenaga, gaya untuk berbuat sesuatu Raga – hawa nafsu Patigha – kebencian, dendam Avijja – ketidaktahuan, kebodohan Mana – kesombongan Sakkayaditthi – ide tentang adanya “aku” yang kekal dan terpisah Semuanya terdapat 52 kegiatan mental yang dapat digolongkan dalam “kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran” Khandha kelima ialah “kegemaran akan kesadaran” viññana-kkhanda . Kesadaran adalah reaksi atau respon yang mempunyai dasar salah satu dari keenam indria kita dengan obyek-sasaran dari indria yang bersangkutan. Misalnya, kesadaran mata cakkhu-viññana mempunyai mata sebagai dasar dan sebagai obyek-sasaran, benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran pikiran mano-viññana mempunyai pikiran sebagai dasar dan ide atau gambar-pikiran sebagai obyek. Dari kedua contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa kesadaran selalu dihubungkan dengan indria-indria kita. Sebagaimana halnya perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran pun terdiri atas enam jenis; yaitu yang berhubungan dengan keenam indria kita dan obyek sasarannya. Anda harus mengerti dengan sebaik-baiknya, bahwa Kesadaran tidak dapat mengenal suatu obyek. Ia hanya merupakan kesadaran yaitu kesadaran akan adanya satu obyek. Kalau mata kita mendapat kontak dengan warna biru misalnya, kesadaran mata kita bangkit dan kita sadar tentang adanya warna, tetapi kita belum mengenalnya sebagai warna biru. Pada tingkatan ini kita belum mengenal apa-apa. Tingkat Pencerapan yang dapat mengenal warna itu sebagai warna biru. Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau benda telah terlihat. Tetapi, melihat belum berarti mengenalnya. Begitu juga halnya dengan kesadaran indria-indria lainnya. Di sini ingin diingatkan sekali lagi, bahwa menurut Buddha Dhamma tidak ada sesuatu zat yang kekal abadi yang dapat dianggap sebagai “aku”, “jiwa” atau “ego” sebagai lawan dari badan jasmani, dan kesadaran viññana janganlah sekali-kali dianggap sebagai “jiwa” yang kekal abadi sebagai lawan dari badan jasmani. Hal ini perlu ditekankan lagi secara khusus karena satu kesalah pahaman sejak zaman purba hingga kini masih saja berlangsung, yang menganggap kesadaran sebagai semacam “jiwa” dan “ego” yang bersifat kekal abadi. Salah seorang siswa Sang Buddha bernama Sati bersikeras mengatakan bahwa Sang Guru pernah berkata “Kesadaran yang samalah yang keluar dan masuk dan berkeliling.” Ketika mendengar ini Sang Buddha lalu bertanya kepada Sati apa yang dimaksudkan dengan “kesadaran” itu? Jawaban Sati adalah klasik “Sesuatu yang melakukan, yang merasakan dan yang mengalami akibat dari pada perbuatan baik dan buruk yang dilakukannya, di dunia ini dan alam sana.” “Orang bodoh”, jawab Sang Guru, “dari siapakah pernah engkau dengar Aku menerangkan ajaran seperti yang engkau katakan itu? Berulang kali Aku menerangkan bahwa kesadaran itu timbul karena satu kondisi; tak ada kesadaran yang timbul tanpa kondisi. Kesadaran diberi nama dari kondisi yang menimbulkannya; oleh karena ada mata dan benda-benda yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama kesadaran-mata; oleh karena ada telinga dan suara yang didengarnya, maka timbul kesadaran yang diberi nama kesadaran-telinga; Sesudah itu, Sang Buddha menerangkan lebih lanjut dengan mengambil perumpamaan. Api diberi nama menurut benda yang membuatnya menyala; misalnya, api yang menyala dari kayu diberi nama api-kayu, api yang menyala dari jerami diberi nama api-jerami. Begitu pula kesadaran diberi nama menurut kondisi yang membuat ia timbul Majjhima Nikaya, Maha Tanhasankhaya Sutta. Buddhagosa, seorang komentator terkenal, pernah menerangkan hal ini sebagai berikut “… api yang menyala dari kayu hanya menyala selama masih ada persediaan kayu dan padam kenbali kalau persediaan kayu itu habis terbakar, karena kondisinya sudah berubah. Namun api itu tidak melompat ke jerami, dll. … dan menjadi api jerami dst…. Begitu juga dengan kesadaran yang timbul dengan adanya mata dan benda-benda yang terlihat; kesadaran ini berlangsung selama kondisi dari adanya sebuah mata, benda-benda yang terlihat, cuaca terang dan perhatian ini tidak melompat ke telinga, dll. … dan menjadi kesadaran telinga dst. … Sang Buddha selanjutnya menerangkan bahwa kesadaran memerlukan benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, dan tidak dapat timbul tanpa adanya mereka itu. Beliau berkata “Kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai benda sebagai perantara rupapayang, benda sebagai obyek ruparammanang, benda sebagai pembantu rupapatitthang dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang; atau kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai perasaan sebagai perantara … atau pencerapan sebagai perantara … atau bentuk-bentuk pikiran sebagai perantara, bentuk-bentuk pikiran sebagai obyek, bentuk-bentuk pikiran sebagai pembantu dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang. Andaikata ada orang yang berkata aku akan memperlihatkan kepadamu datangnya, jalannya, lenyapnya, timbulnya, bertambahnya atau berkembangnya kesadaran terlepas dari benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, maka orang itu telah berkata tentang sesuatu yang tidak ada.” Secara singkat inilah yang dimaksud dengan Lima Kelompok Kegemaran Pañcakkhanda. Lalu yang dinamakan makhluk, orang atau “aku” hanyalah merupakan sebuah nama atau sebuah sebutan belaka yang kita berikan kepada Lima Kelompok Kegemaran tersebut. Mereka semua tidak kekal dan selalu berubah-ubah. Segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha Yad aniccang tang dukkhang. Inilah makna sebenarnya dari kata-kata Sang Buddha “Secara singkat, Lima Kelompok Kegemaran itu adalah dukkha.” Mereka tidak pernah sama pada dua saat yang berlainan. Di sini A tidak sama dengan A. Mereka merupakan proses terus menerus dari suatu keadaan yang setiap saat timbul dan lenyap kembali. “O brahmana, kesadaran itu seperti juga sebuah sungai di gunung yang mengalir jauh dan cepat dengan membawa serta segala sesuatu yang dijumpai di perjalanannya; tak sekejap, sesaat atau sedetik pun ia berhenti mengalir, tetapi ia terus menerus mengalir tak henti-hentinya. Begitu pula brahmana, penghidupan seorang manusia dapat diumpamakan sebagai sebuah sungai di gunung.” Sang Buddha pernah berkata kepada Ratthapala “Dunia ini berada dalam proses bergerak terus menerus dan oleh karena itu tidak kekal.” Satu materi lenyap dan ini menciptakan kondisi untuk timbulnya materi yang berikutnya dan begitu seterusnya dalam satu rangkaian sebab dan akibat. Tak terdapat satu bagian pun yang kekal di dalamnya. Tak ada sesuatu di belakangnya yang dapat disebut sebagai satu Atta Pali atau Atman Skrt yang kekal abadi, satu pribadi atau yang disebut sebagai “aku”. Saya kira semua orang setuju, bahwa baik benda, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran atau kesadaran pada hakekatnya tak dapat disebut sebagai “aku”. Tetapi kalau Lima Kelompok Kegemaran ini, yang keadaannya saling bergantungan, bekerja sama dalam satu kombinasi sebagi satu mesin physio-psychologik, maka kita akan mendapat ide tentang adanya sang “aku” itu. Tetapi, ini ide palsu, satu bentuk pikiran yang menjadi bagian dari salah satu dari 52 buah bentuk pikiran dari Kelompok Kegemaran keempat yang baru saja kita perbincangkan, yaitu bentuk pikiran tentang adanya ide dari sang “aku” sakkaya-ditthi; dari sat = makhluk dan kaya = tubuh. Lima Kelompok Kegemaran ini secara keseluruhan, yang secara populer disebut sebagai “makhluk”, juga merupakan dukkha sankharadukkha. Sebenarnya tak ada “makhluk” atau “aku” lain yang berdiri di belakang Lima Kelompok Kegemaran itu yang mengalami penderitaan. Dalam hubungan ini Buddhagosa pernah berkata “Hanya penderitaan yang ada, namun “tak dapat dijumpai si penderita; “Perbuatan yang ada, tetapi “tak ada si pembuat.” Vism. PTS, hal. 513 Tak adalah penggerak yang tak bergerak di belakang pergerakan itu. Yang ada hanya pergerakan itu sendiri. Kuranglah tepat kiranya untuk mengatakan bahwa penghidupan ini bergerak, karena penghidupan itu sendiri merupakan pergerakan. Penghidupan dan pergerakan bukanlah dua hal yang berbeda. Dengan perkataan lain, tak terdapat si pemikir di belakang pikiran. Pikiran itu sendirilah yang juga merupakan si pemikir. Kalau kita menyingkirkan pikiran, maka si pemikir tak akan dapat dijumpai. Dalam hal ini paham Buddhis bertentangan sama sekali dengan paham kaum Cartesian yang berbunyi “cogito ergo sum” yang berarti “aku berpikir, dan karena itu aku ada.” Sekarang mungkin timbul pertanyaan, apakah penghidupan ada permulaannya? Menurut Buddha Dhamma, awal dari proses penghidupan satu makhluk tak dapat terpikir. Sang Buddha pernah bersabda “O bhikkhu, roda tumimbal-lahir samsara tak mempunyai akhir yang dapat dilihat. Sedangkan awal dari penghidupan makhluk-makhluk yang sekarang kelihatan berkeliaran ke sana dan ke mari, diselubungi oleh ketidaktahuan avijja, diikat erat-erat oleh belenggu keinginan yang tak habis-habisnya tanha, tidak dapat diketahui dengan jelas.” S II, hal. 178/9; III hal. 149, 151. Selanjutnya mengenai ketidaktahuan avijja, yang merupakan sebab utama dari tumimbal-lahir yang tak habis-habisnya, Sang Buddha bersabda “Awal dari avijja tidak dapat diketahui dengan jelas. Ini harus diartikan bahwa kita tidak dapat menentukan dengan tepat bahwa di luar titik tertentu tidak lagi terdapat avijja.” Dengan demikian, tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa tidak terdapat lagi kehidupan di luar titik tertentu. Inilah secara singkat makna dari Kesunyataan Mulia tentang Dukkha. Sangat penting sekali untuk mengerti Kesunyataan Mulia Pertama ini dengan baik, sebab Sang Buddha juga pernah bersabda “Ia yang telah melihat dukkha akan dapat melihat pula sumbernya dukkha, dapat melihat pula terhentinya dukkha dan dapat melihat pula jalan yang menuju ke terhentinya dukkha.” Harap jangan disalahartikan, bahwa kehidupan seorang Buddhis itu murung dan penuh kesedihan. Sebaliknya, seorang Buddhis sejati adalah orang yang paling bahagia. Ia tak mempunyai rasa takut atau ketegangan. Ia selalu sabar dan gembira dan ia tak terpengaruh atau merasa kesal oleh adanya suatu perubahan atau bencana karena ia melihat benda-benda menurut kodratnya yang sebenarnya atau sewajarnya. Sang Buddha sendiri tak pernah kelihatan murung atau kesal. Orang yang pernah mengenal Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau adalah orang yang selalu tersenyum mihitapubbangama. Dalam lukisan atau pahatan Sang Buddha selalu digambarkan dalam keadaan bahagia, tersenyum, puas dan penuh welas asih. Tak sedikit pun penderitaan atau kemasygulan yang dapat terlihat. Kebudayaan dan arsitektur Buddhis dengan vihara-viharanya belum pernah memberi kesan tentang kemurungan atau kesedihan, tetapi selalu memberikan suasana yang tenang, khidmat, mulia dan agung. Meskipun hidup ini penuh dengan penderitaan, seorang Buddhis seharusnya jangan bersikap murung, atau bersikap marah atau tak sabar terhadapnya. Salah satu sifat buruk, menurut paham Buddhis, adalah patigha. Patigha dapat diartikan sebagai “keinginan tidak baik” ill-will terhadap makhluk hidup, terhadap penderitaan dan terhadap benda-benda yang ada hubungannya dengan penderitaan. Fungsinya ialah menciptakan dasar bagi satu keadaan yang tidak bahagia dan tingkah laku yang buruk. Oleh karena itu salah sekali bertindak tidak sabar terhadap penderitaan. Dengan bertindak tidak sabar dan marah-marah kita tidak dapat menyingkirkan penderitaan. Bahkan, ia akan menambah lebih banyak kesulitan lagi, memperbesar, dan merangsang keadaan yang memang sudah tidak menyenangkan itu. Yang perlu kita lakukan bukanlah marah-marah atau tidak sabar, melainkan berusaha untuk mengerti akan seluk beluk penderitaan itu, bagaimana ia timbul dan bagaimana menyingkirkannya. Selanjutnya, kita harus bekerja untuk mencapai tujuan itu dengan penuh kesabaran, kebijaksanaan, keyakinan dan kemauan keras. Kita mengenal dua buah kitab suci Buddhis yang berjudul Theragatha dan Therigatha. Kitab-kitab tersebut berisikan ucapan-ucapan penuh kebahagiaan dari siswa-siswa Sang Buddha, baik pria maupun wanita, yang telah berhasil memperoleh ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupan dengan melaksanakan ajaran Sang Buddha. Baginda Raja Kosala pada suatu hari memberitahukan Sang Buddha bahwa berlainan dengan pengikut agama-agama lain yang air mukanya kelihatan liar, beringas, pucat, kurus kering dan tidak bercahaya, maka siswa-siswa Sang Buddha kelihatannya gembira dan bercahaya, penuh dengan kebahagiaan hidup, menikmati hidup suci, indria-indrianya terkekang, bebas dari ketegangan, sabar, tenang dan periang. Raja itu menganggap bahwa keadaan yang sehat ini diperoleh karena para bhikkhu itu benar-benar dapat menyelami dan melaksanakan ajaran Sang Tathagata Buddha. Buddha Dhamma menentang pikiran yang murung, sedih dan penuh dengan perasaan bersalah, yang dianggap sebagai penghalang untuk menembus Kesunyataan dan memperoleh Penerangan Agung. Sebaliknya, kegiuran piti termasuk salah satu dari tujuh Bojjhanga yang dengan mutlak harus dikembangkan untuk mencapai Penerangan Agung Nibbana.
42 Kelas VII SMP Secara garis besar BAB II berisi tentang 1. Keraguan Buddha untuk mengajarkan Dhamma karena Beliau merasa bahwa ajaran yang Beliau temukan sangat sulit untuk dipa- hami manusia. Akhirnya karena jasa Brahma Sahampati Buddha bersedia mengajarkan ajarannya. 2. Setiap pelaksanaan pujabakti umat Buddha melantunkan paritta Aradhana Dhammadesana untuk memohon khotbah kepada ang- gota Sangha. 3. Murid pertama Buddha umat awam upasaka yaitu Tapussa dan Bhalika. 4. Murid pertama yang menjadi anggota Sangha adalah lima pertapa bekas teman Buddha saat enam tahun menjadi Pertapa di hutan Uruvela dengan upasampada “ehi bhikkhu.” 5. Ajaran pertama adalah empat kebenaran mulia Catur ariya sac- cani dan dikenal sebagai Pemutaran Roda Dharma. 6. Peristiwa Buddha pertama mengajarkan ajaran-Nya setiap tahun diperingati umat Buddha sebagai hari Asadha. 7. Lima siswa Buddha mencapai Nibbana. 8. Khotbah kedua yang dinamakan Anattalakkhana Sutta Sutta tentang corak umum tanpa diri yang kekal dan khotbah ketiga yang dinamakan Aditta Pariyaya Sutta Sutta tentang semua dalam Keadaan Terbakar. 9. Khotbah kepada Yasa yang merupakan anak seorang pedagang kaya. Yasa akhirnya menjadi Arahat sewaktu Buddha mengulang uraian tersebut di hadapan ayahnya. 10. Teman-teman Yasa juga mengikuti jejak Yasa menjadi siswa Bud- dha dan mencapai Arahat semua, sehingga siswa Buddha yang mencapai Arahat berjumlah 60 orang. 11. Misi agama Buddha dimulai dengan perintah Buddha kepada 60 Arahat siswa Buddha untuk mengembara kesegenap arah memba- barkan Dhamma yang penuh dengan cinta kasih. 12. Ayah Yasa menjadi siswa dan memiliki Mata Dhamma setelah mendengar khotbah Buddha. 13. Upasampada bhikkhu oleh siswa-siswa Buddha karena sangat menyulitkan kalau setiap orang ingin menjadi bhikkhu harus men- emui Buddha sendiri. Upasampada dengan memanjatkan paritta Tisarana yang dinamakan Tisaranagamana. RANGKUMAN Ayo Mengomunikasikan Uraikan hasil diskusimu di depan kelas untuk mendapat masukan dari teman-temanmu 1. _________________________________________ 2. _________________________________________ 42 Kelas VII SMP 43 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti EVALUASI I. Pilihlah jawaban yang paling tepat 1. Buddha awalnya tidak berniat mengajarkan ajaranNya karena a. Ajaran Beliau bersifat ilmu batin semata. b. Ajaran Beliau sudah umum diketahui orang banyak. c. Sudah banyak orang suci di India zaman itu. d. Ajaran Beliau sangat sulit dipahami oleh orang yang batinnya kotor. 2. Yang mengingatkan Buddha agar tetap mau mengajarkan ajarannya adalah a. Dewa Brahma b. Maha Brahma c. Brahma Vihara d. Brahma Sahampati 3. Setelah berjanji akan mengajarkan ajarannya Beliau pertama kali akan mengajarkan kepada a. Udaka Ramaputra b. Udaka Kalama c. Alara Kalama d. Alara Ramaputra 4. Khotbah kedua diberikan Buddha kepada a. Lima pertapa b. Yasa c. Ayah Yasa d. Tapussa dan Ballika 5. Setelah kelima pertapa bersedia mendengarkan khotbahNya, Buddha memberikan khotbahnya yang dikenal dengan ….. a. Sigalovada Sutta b. Manggala sutta c. Anattalakhana Sutta d. Dhammacakkappavatthana Sutta 43 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti 44 Kelas VII SMP II. Jawablah dengan uraikan yang jelas dan tepat 1. Mengapa Buddha ragu-ragu untuk mengajarkan ajarannya? 2. Apa alasannya seorang makhluk dewa meminta agar Buddha mau mengajarkan ajarannya? 3. Apa manfaat bagi Tapussa dan Ballika kalau mereka mempersembahkan tepung dan madu kepada Buddha? 4. Cerikan bagaimana caranya agar Buddha dapat menerima persembahan tepung dan madu dari Tapussa dan Ballika? 5. Mengapa mula-mula lima pertapa teman bertapa Pangeran Sidharta tidak mau menyambut kedatangan Buddha di hutan Uruvela? 6. Jelaskan yang dimaksud dengan lima khandha. 7. Jelaskan tentang khotbah ketiga yang diberikan oleh Buddha. 8. Mengapa Yasa merasa jijik pada kehidupan sehari-harinya? 9. Apa misi enam puluh Arahat siswa Buddha yang diperintahkan Buddha mengembara sendiri-sendiri tidak boleh berdua-dua ke seluruh penjuru? 10. Ceritakanlah cara Upasampada bhikkhu pada zaman Buddha hidup. 44 Kelas VII SMP 45 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti KRITERIA AGAMA BUDDHA III Bab Tarik napas pelan-pelan, katakan dalam hati “Aku Tahu.” Hembuskan napas pelan-pelan, katakan dalam hati “Aku Tahu.” Tarik napas pelan-pelan, katakan dalam hati “Aku Tenang.” Hembuskan napas pelan-pelan, katakan dalam hati “Aku Bahagia.” Ayo Mengamati Amatilah gambar di bawah ini Tahukah kalian, kejadian apa saja ketiga gambar tersebut ? A. Agama Buddha Agama Buddha atau sering disebut Buddha dhamma atau Buddha Dharma merupakan salah satu agama di dunia dipeluk oleh hampir 1 milyar penduduk dunia di berbagai negara. Negara-negara yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Buddha yaitu Thailand, Srilanka, Birma, Nepal, Tibet, Jepang, Korea, Tiongkok, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Taiwan. Disamping itu yang cukup banyak umat Buddhanya yaitu di Singapura, Malaysia, India, dan Indonesia. Mengamati Bacalah teks di bawah ini dengan cermat Gambar Ilustrasi Sidharta lahir Sumber Gambar Ilustrasi Buddha mengajarkan Dharma Gambar Ilustrasi Buddha Parinibbana 45 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti 46 Kelas VII SMP Agama Buddha dibabarkan oleh Sidhartha Gautama sebagai hasil
33 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti 4. Sutta tentang semua dalam Keadaan Terbakar bercerita tentang hal-hal yang terbakar kecuali . . . . a. mata c. kulit b. bentuk d. kesadaran 5. Yasa anak seorang pedagang yang kaya dan selalu berpesta siang dan malam, tetapi ternyata dia merasakan . . . . a. selalu gembira c. selalu sedih b. sangat bangga d. jemu B. Berikan jawaban secara singkat dan jelas. 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan lima Khandha. 2. Jelaskan tentang khotbah ketiga yang diberikan oleh Buddha. 3. Mengapa Yasa merasa jijik pada kehidupan sehari-harinya? 4. Apa misi 60 Arahat murid Buddha yang diperintahkan Buddha mengembara sendiri-sendiri ke seluruh penjuru? 5. Ceritakanlah cara upasampada bhikkhu pada zaman Buddha hidup. 34 Kelas VII SMP Agama Buddha dan Umat Buddha IV Bab A. Kriteria Agama Buddha di Indonesia Pada Kongres Umat Buddha Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 8 Mei 1979 di Yogyakarta, ditetapkan kriteria agama Buddha Indonesia, yaitu seperti berikut. 1. Tuhan Yang Maha Esa. Umat Buddha dari berbagai tradisi menyebut Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan yang berbeda-beda seperti Sang Hyang Adi Buddha, Hyang Buddha, Yang Esa, Tuhan Yang Esa, atau Tuhan Yang Maha Esa. 2. TriratnaTiratana adalah Buddha, Dharma, dan Sangha. 3. TrilakhanaTilakhana adalah Anicca, Dukkha, dan Anata. 4. Catur Ariya SatyaniCattari Arya Saccani adalah Dukkha, Sebab Dukkha, Lenyapnya Dukkha, dan Jalan menuju lenyapnya Dukkha. 5. Pratitya SamutpadaPaticcasamuppada adalah 12 mata rantai sebab akibat. 6. KarmaKamma adalah perbuatan yang dilakukan oleh pikiran, ucapan maupun badan jasmani. 7. PunarbhavaPunnabhava adalah kelahiran kembali. 8. NirvanaNibbana adalah kondisi yang sudah terbebas dari roda samsara dan Dukkha. 9. BodhisattvaBodhisatta adalah Calon Buddha. Releksi Agama Buddha di Indonesia memiliki kriteria sendiri sesuai dengan falsafah Negara Indonesia, Pancasila, bahwa setiap agama yang diakui oleh negara harus berketuhanan Yang Maha Esa. Agama Buddha menggunakan Udana VIII sebagai konsep ketuhanan dan menyebut nama Tuhan dengan berbagai sebutan antara lain Sanghyang Adi Buddha. Bisakah kamu merasakan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa? Ceritakan bagaimana caranya jika kamu ingin merasakan adanya Tuhan. Cobalah kamu lakukan dan rasakan ketenangan sehabis kamu melaksanakan meditasi. 35 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti B. Tingkat Kerohanian Umat Buddha
Bahan untuk membuat kuah santan adalah A. santan, susu kental manis, daun suji B. santan, daun suji, hunkwe C. Santan, daun pandan, dan garam D. Santa … n, daun pandan, dan gula
jelaskan tentang khotbah ketiga yang diberikan oleh buddha